Minggu, 10 Januari 2010

MENCARI WAJAH – NYA DALAM KEHENINGAN Sebuah wisata rohani

Tahun ini kami ingin menutup dan mengawali tahun dengan cara lain dari yang biasanya kami lakukan. Kami ingin menyepi ke Rawaseneng, di sebuah biara pertapaan milik OCSO. Sebelumnya kami hendak mampir ke Gua Maria Kerep Ambarawa.
Berangkat tanggal 31 Desember 2009, pas padat-padatnya lalu lintas di semua kota, kami berangkat dengan pesawat dari Pekanbaru ke Jogja. Selain lebih penumpang lebih ramai dari biasanya, serta cuaca yang agak berawan, perjalanan Pekanbaru – Jogjakarta nyaris biasa-biasa saja.
Sampai di Jogja, kami segera ke Jombor untuk mencari bus ke arah Semarang. Tujuan kami adalah Ambarawa. Seperti sudah kami duga, calon penumpang bus meningkat, mungkin sekitar dua kali lipat. Kami sudah cemas tidak bisa mendapatkan bus. Apalagi hari bertambah senja, ditambah lagi perjalanan yang sangat merayap dari Adisucipto sampai Jombor. Untung pihak bus juga menambah armadanya. Sehingga akhirnya kami bisa juga mendapat bus.
Jogja sore itu basah oleh hujan. Di tengah hujan yang tak juga berhenti kami melaju dengan bus ke arah Ambarawa. Sementara itu, di luar hari bertambah gelap.
Sekitar pukul 8 malam kami sampai di Ambarawa. Udara super dingin langsung menyambut kami. Setelah mendapat penginapan, kami segera naik ke Goa Maria Kerep, yang letaknya tidak jauh dari penginapan. Dengan berjalan kaki, kami menempuh jalan kecil menanjak sepanjang kurang lebih satu kilo.
Ternyata sudah banyak orang datang ke Gua Maria. Nampaknya mereka sudah lebih siap daripada kami. Mereka datang dengan membawa tikar, bahkan ada juga yang dengan bantal dan selimut! Rupanya, barang-barang itu sangat berguna, sebab udara dingin di Gua Maria Kerep sangat menusuk tulang. Sambil menunggu waktu untuk misa beberapa peziarah tampak menggelar tikar dan bantal untuk beristirahat.
Setelah meletakkan bunga, memasang lilin dan berdoa Rosario, kami sempatkan berjalan-jalan di areal Gua Maria. Sebelumnya, sempat juga kami membasuh muka dengan air yang mengalir melalui keran-keran di samping Gua Maria. Air yang dingin itu langsung menyegarkan muka kami!
Pertama-tama kami masuk ke sebuah ruangan di belakang Gua Maria. Di ruangan tersebut ditahtakan Hati Yesus yang Maha Kudus dalam sebuah monstran yang besar. Di depannya dinyalakan dua buah lilin yang tidak akan pernah padam. Kami sempatkan berdoa sejenak di depan Sakramen Maha Kudus. Suasana sangat hening saat itu.
Selanjutnya, kami meneruskan berjalan-jalan lagi. Sewaktu berjalan-jalan, kami berpapasan dengan beberapa kelompok orang sedang melakukan Jalan Salib mengelilingi kompleks Gua Maria.
Kami pergi ke tempat yang menunjukkan perahu Nabi Nuh, kemudian juga kami masuk ke sebuah gua yang menggambarkan makam Yesus. Di sana disampirkan sebuah kain kafan putih. Selanjutnya kami mengelilingi taman yang dinamakan Taman Lima Roti dan Dua Ikan. Mungkin karena malam pergantian tahun, malam itu taman itu sangat ramai.
Selanjutnya, kami kembali ke areal Gua Maria. Kami menunggu di aula besar di samping Gua Maria. Lantai yang kami duduki terasa sangat dingin. Biarpun kami sudah melipat badan sedemikian rupa, tetap saja rasa dingin menusuk ke tubuh kami. Wedhang ronde yang tadi sempat kami minum lumayan membantu walaupun tidak lama…
Semakin malam umat yang datang semakin banyak. Tanpa kami sadari, pelataran tempat misa sudah mulai dipenuhi oleh peziarah yang ingin ikut misa…
Sekitar pukul 11 malam Misa dimulai. Umat memadati pelataran di depan Gua Maria. Mereka duduk rapi dalam jalur-jalur yang teratur, walaupun tidak tampak seorang pun mengatur tempat duduk.
Kami sendiri, walaupun sudah lama ngetem di situ, tetap tidak dapat tempat di pelataran, karena tanpa kami sadari, umat sudah menyemut dan mengambil tempat di pelataran. Terpaksa kami duduk di pinggiran pelataran. Tak papalah, salah kami sendiri, kenapa tidak dari tadi-tadi mencari tempat…
Walaupun umat berjubel, tetapi misa berlangsung dengan khusuk dan khidmat. Apalagi misa diiringi dengan lagu-lagu Taize yang dilantunkan dengan lembut. Sulit menuangkannya dengan kata-kata. Suasana malam itu sangat syahdu, lembut, dan khidmat. Secara fisik badan kami lelah dan kami terribly frozen… tapi hati kami rasanya hangat. Rasanya laiiiin sekali berada di bawah kaki Bunda Maria, bersimpuh di ujung jubahnya, sambil memasrahkan apa yang akan terjadi di tahun yang mendatang…
Misa Kudus dilanjutkan dengan adorasi. Setelah adorasi, monstran diletakkan di ruangan tempat pentahtahan Hati Kudus Yesus di belakan Gua Maria, dan umat dipersilahkan melanjutkan dengan doa pribadi.
Sekitar pukul 2 dini hari, kami kembali ke penginapan. Tak terasa, sudah tahun 2010…
Besoknya, kami melanjutkan perjalanan ke Temanggung, tujuan kami adalah Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Dari terminal Ambarawa kami naik bus jurusan Semarang – Jogja. Di Secang kami turun, dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus yang lebih kecil lagi ke arah Maron. Ketika kami menyebutkan tujuan kami, pak Kondekturnya langsung menebak:
“Mau ke Rawaseneng ya Mbak?”
Mungkin memang musim seperti ini banyak yang pergi ke sana.
“Ke tempat pastor-pastor itu kan Mbak?” kata pak Kondektur itu lagi. Kami tertawa saja.
Sampai di pertigaan Maron, kami berhenti dulu dan mencari teh untuk menghangatkan perut kami. Ternyata kebetulan pula ibu pemilik warung itu menggoreng tempe gembus! Hwaduh! Sudah hampir seperempat abad sejak meninggalkan Jogja kami tidak pernah lagi merasakan tempe gembus! Jadilah kami seperti kesetanan melihat makanan tersebut!
Angkutan desa yang membawa kami berhenti di dusun Rawaseneng, yang merupakan perhentian terakhir. Dari situ kami masih harus berjalan kaki lagi, namun tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 m. Ketika sampai di mulut pertapaan, kami harus melapor pada security. Untungnya, urusan lapor-melapor ini tidak terlalu berbelit-belit. Kami hanya disuruh menuliskan nama dan alamat.
Selanjutnya, kami berjalan lagi menuruni jalan untuk sampai di kantor administrasi pertapaan.
Karena sudah pesan tempat sebelumnya, kami tidak banyak mengalami kesulitan. Frater Blasius, OCSO yang selama ini menjadi penghubung kami, menyambut kami dengan ramahnya.
Kami ditunjukkan kamar kami yang luar biasa bersihnya. Kami sampai ternganga melihatnya. Perabotannya sungguh sederhana, terdiri dari dua buah dipan dengan kasur dan seprei putih. Satu buah meja kaju, dua buah kursi kayu, dan satu buah lemari yang juga terbuat dari kayu. Ketika saya mencoba mengangkat kursinya… mak! Bueratnya minta ampun!
Lantainya juga masih lantai ubin, yang kesemuanya beserta dengan perabotannya mengingatkan saya pada rumah masa kecil saya…
Kamar itu memiliki satu jendela besar yang langsung menghadap ke arah kebun belakang. Jadi, begitu jendela dibuka, tampaklah rumput menghampar dengan jajaran bunga kemerahan di sela daun-daun hijau yang segar. Dari situ juga nampak sebuah pohon durian, pohon alpukat dan pohon mangga. Kedua pohon ini kelihatannya sedang berbuah walaupun masih belum masak…
Setelah selesai ternganga-nganga melihat kamar kami, kami segera mandi dan beres-beres, karena jam 10 misa awal tahun akan segera dimulai.
Kami sudah tahu bahwa air di daerah pegunungan pasti dingin. Tapi, tahu ternyata tidak sama dengan merasakannya sendiri! Begitu merasakan guyuran air itu…. Brrrrr!!!!! Kami terkejut setengah mati! Dingiiiiiiiiinnnnnyaaa!!!!
Jam 10 tepat, misa awal tahun dimulai. Tanggal 1 Januari juga merupakan peringatan Santa Perawan Maria Bunda Allah. Misa dilangsungkan di Kapel Santa Maria yang bentuknya sangat unik. Tempat duduk umat dipisahkan dengan tempat duduk para rahib. Dan tempat duduk para rahib ini tidak menghadap ke altar, melainkan menghadap ke sisi kiri untuk lajur di sebelah kanan dan sebaliknya. Jadi, ketika berdoa, atau menyenandungkan kidung, para rahib ini saling berhadapan.
Mereka, para rahib itu, mendapat tempat satu kursi seorang. Uniknya, kursi mereka bisa dilipat, sehingga bila mereka berdiri, mereka melipat kursi mereka ke atas. Demikian juga, bila hendak duduk, mereka menurunkan kursi mereka untuk diduduki. Ketika hendak pulang, saya pernah mencoba menurunkan lipatan kursi ini untuk saya foto… dan ternyata beratnyaaaaa minta ampun! Saya bayangkan betapa kuatnya tangan-tangan para rahib itu karena dalam satu kali ibadat harus beberapa kali mengangkat dan menurunkan lipatan kursi!
Walaupun masih dalam suasana Natal, namun nampaknya kapel kecil ini tidak rame dihiasi dengan pernik-pernik Natal. Hanya ada gua Natal yang diletakkan persis di bawah altar. Jadi seolah-olah altar itulah guanya. Di situlah diletakkan patung Bunda Maria, Santo Yosef, dan tentu saja El Nino di tengah-tengahnya. Selebihnya hiasan kapel itu adalah bunga hidup seperti biasa.
Misa berlangsung dengan sederhana namun khidmat. Walaupun tanpa dirigen, lagu-lagu dinyanyikan bersama dengan padu, dengan iringan organ yang lembut. Sejuk rasanya telinga kami mendengarnya. Umatpun mengikuti misa dengan tekun dan sopan. Tidak ada yang berbicara apalagi main hape! Rasa hormat umat terhadap Allah yang hadir dalam misa kentara sekali di misa hari itu di kapel kecil itu…
Setiap harinya, para rahib mengadakan enam kali ibadat dan satu kali Ekaristi. Untuk hari biasa ibadat akan dimulai pk. 3.30 dini hari dengan Ibadat Bacaan, dilanjutkan Ibadat Pagi pada pk. 6.00. Kemudian pada pukul 08.00 tepat diadakan Ibadat Siang I. Ibadat Siang II mulai pk. 12.00. Pukul 14.30 akan diadakan Ibadat Sore, dan selanjutnya pada pukul 17.30 diadakan Ekaristi. Hari itu akan ditutup dengan Ibadat Penutup pada pukul 19.45.
Untuk hari Minggu atau hari Raya seperti hari itu, biasanya akan diadakan misa pukul 10.00 dan Ibadat Siang I ditiadakan. Sorenya, pukul 17.30 biasanya diadakan Ibadat Sore dan dilanjutkan dengan adorasi.
Ketika kami hendak ke sini, Frater Blasius, OCSO yang kami telepon mewanti-wanti betul bahwa kami harus mengikuti semua ibadat tersebut. Tentu saja kami sangat bersedia mengikuti semua ibadatnya!
Pagi itu selesai misa, kami langsung menikmati snack pagi. Snack pagi itu berupa kue-kue kering buatan Pertapaan Santa Maria yang terkenal enak. Dan, ternyata benar, kue lidah kucing yang saya rasakan, beda sekali rasanya! Kering, renyah, gurih… intinya: lezat!
Snack tersebut ditemani dengan tiga pilihan minuman hangat; kopi, teh, atau susu asli dari sapi-sapi yang dipelihara oleh pertapaan. Wah… sedapnya….!
Selanjutnya setiap pagi pukul 9 dan sore pukul 3 kami boleh menikmati snack. Snacknya berupa kue-kue sederhana yang enak rasanya, seperti unti, tahu goreng, tempe goreng, dan lain-lain yang semua disajikan hangat-hangat. Di tengah udara yang sangat dingin di Rawaseneng seperti itu, rasanya ingin sekali menghabiskan satu nampan tahu goreng…!
Sehabis menghabiskan snack pagi itu, kami sempatkan berjalan-jalan ke kandang sapi, sambil menunggu waktu Ibadat Siang.
Pertapaan ternyata memiliki banyak sekali sapi; jantan, betina, dan juga anak-anak sapi. Dan uniknya, untuk sapi-sapi betina, mereka diberi nama… hahaha… Sayang hari itu kami tidak sempat melihat sapi-sapi yang punya nama ini diperah susunya. Baru keesokan harinya kami sempat nonton bagaimana sapi-sapi itu diperah susunya. Sapi-sapi di sana begitu besar. Mereka nampak kuat dan sehat. Apalagi sapi-sapi jantannya, nampak kekar dan sangar…
Sayangnya, hari itu kami tidak bisa memuaskan keinginan kami untuk berjalan-jalan berkeliling pertapaan. Menjelang sore, setelah Ibadat Sore, cuaca menjadi mendung, dan kabut tebal langsung menutupi kawasan pertapaan, dan kemudian hujan turun. Aduuuh… kecewanya…. Menurut salah seorang pengunjung, sejak minggu terakhir Desember, pertapaan selalu diliputi awan dan kemudian hujan.
Akhirnya, kami menghabiskan waktu yang ada dengan menulis jurnal dan kemudian… curi-curi membayar hutang tidur di antara waktu-waktu ibadat… hehehehe…
Tentu saja, pemandangan alam pegunungan yang sejuk dan segar, lengkap dengan peternakan sapi dan kebun kopi, bukanlah satu-satunya daya tarik Pertapaan Rawaseneng. Yang kami cari, dan kami yakin sebagian besar orang yang datang ke situ cari, adalah keindahan ibadat-ibadat yang dilakukan oleh para rahib, yang selama dua hari itu coba kami ikuti. Sebenarnya sangat sulit menggambarkan setiap detik demi detik yang sangat berharga, ketika kami mulai memasuki kapel kecil yang sederhana namun anggun. Keheningan yang ditawarkan seperti guyuran air hujan di musim kering.
Satu-satunya kemewahan duniawi adalah musik organ yang dimainkan dengan lembuuuuut sekali, berpadu indah dengan suara empuk para rahib. Mazmur-mazmur semua dilagukan, dan dinyanyikan dengan nada-nada yang sangat sederhana. Namun, kesederhanaan itulah yang malahan membuatnya menjadi begitu indah.
Ibadat-ibadat ini sebelumnya selalu diawali dengan dentang lonceng. Bunyi lonceng ini begitu merdu terdengar, seolah-olah suaranya bergema, dipantulkan oleh bukit-bukit di sekeliling pertapaan.
Bunyi lonceng panjang menandakan ibadat tinggal setengah jam lagi. Lonceng panjang ini juga sekalian panggilan untuk pulang, bagi para rahib yang sedang bekerja di luar pertapaan. Dan bunyi lonceng pendek menandakan ibadat akan dimulai sepuluh menit lagi. Bila dentang lonceng sudah berbunyi, maka satu persatu para rahib dengan tertibnya memasuki kapel, kemudian berlutut dan berdoa. Nyaris tak ada suara yang terdengar, kecuali derak lantai kayu bersentuhan dengan sandal-sandal karet para rahib…
Begitu jam di kapel tersebut berdenting, menunjukkan waktu sudah jam 3.30 atau jam 6.00 atau jam-jam ibadat lainnya, langsung saja organis akan memulai mengetuk tuts-tuts organnya. Bila tidak menggunakan organ pun (kelihatannya organ hanya digunakan pada hari besar – penulis), maka salah seorang rahib pasti akan langsung memulai ibadat.
“Ke dalam tanganMu, kuserahkan diriku, ya Tuhan penyelamatku…” Ini adalah larik pertama yang mengawali setiap ibadat.
Semua berlangsung tanpa komando yang menghebohkan. Keheningkan tetap terjaga sampai ibadat selesai. Ketika ibadat selesai, para rahib ini biasanya masih melanjutkan dengan meditasi pribadi, kemudian satu per satu dengan tenang dan tertib meninggalkan kapel.
Umat yang mengikuti misa ataupun ibadat pun jadi ikut-ikutan tertib. Tidak ada yang berani bersuara selama ibadat atau misa berlangsung. Saya sendiri sampai tidak berani menggambil gambar. Rasanya takut sekali merusak keindahan suasana yang begitu hening seperti itu. Selain juga rasanya sayang melewatkan sekian menit waktu ibadat dengan mengambil gambar…
Hari itu, hari Sabtu, diadakan ibadat-ibadat seperti biasanya. Namun, tidak seperti hari-hari yang lainnya, malamnya setelah Ibadat Malam diadakan adorasi. Pada saat adorasi, semua lampu kapel dimatikan. Monstran diletakkan di tengah di antara tiga pasang lilin yang disusun berjenjang, dari pendek ke panjang, sehingga menimbulkan silhouette yang indah. Seperti di Gua Maria Kerep, adorasi dilagukan dalam bahasa Latin.
Salah satu yang sangat menyentuh buat saya, adalah ketika pada hari Sabtu malam itu, setelah Ibadat Penutup dan adorasi, para rahib keluar dari kapel dengan sebelumnya menerima percikan air suci. Ternyata, umat pun diperkenankan maju untuk menerima percikan air suci… Wah… sulit rasanya menggambarkan apa yang saya rasakan. Rasanya seolah-olah Tangan Tuhan sendiri tengah menyentuh saya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang… Rasanya damaiiiiii sekali…
Yang juga sangat menyenangkan di Rawaseneng adalah keakraban yang timbul bersama tamu-tamu lain yang datang. Sejak kami pertama datang, kami merasa sambutan sesama pengunjung luar biasa ramahnya! Bila berpapasan, tidak ada dagu yang terangkat tinggi atau muka yang berpaling dengan wajah dingin. Semua saling berhenti sejenak, memberi jalan, dan menanyakan kabar. Karena hari itu adalah suasana Natal dan Tahun Baru, maka ucapan “Selamat Natal dan Tahun Baru” ramai terdengar. Ini beda sekali dengan suasana bila kita menginap di hotel atau tempat penginapan lainnya.
Di sela-sela waktu makan, kami pun bertukar cerita. Pengunjung rata-rata berasal dari pulau Jawa, entah Jakarta, Jawa Barat, ataupun Jawa Timur. Pada saat itu, kamilah pengunjung terjauh, yakni dari Pekanbaru, Riau. Mereka pun datang dengan berbagai alasan, ada yang bersyukur untuk ulang tahun perkawinan, ada yang memang ingin memperkenalkan cara hidup sederhana pada anak-anak mereka, dan ada juga sudah menjadi rutinitas, setiap Natal merayakannya di Rawaseneng. Omong-omong tentang merayakan Natal di Rawaseneng, menurut seorang pengunjung, untuk Natal tahun 2010 Rawaseneng sudah fully booked! Beliau saja yang pengunjung tetap, harus masuk daftar tunggu… Hwaduh!
Hari Minggu, tanggal 3 Januari 2010, kami harus mengakhiri “retret” kami di Rawaseneng. Sungguh dua hari yang sangat berharga, tidak hanya secara fisik saja, tetapi terlebih untuk bathin kami. Secara fisik, harus saya akui, saya yang biasanya susah makan, jadi sering krucuk-krucuk di situ. Padahal makanan yang disajikan “hanyalah” tumis-tumisan, seperti tumis pepaya muda, atau tumis kacang panjang dengan telur dadar, misalnya. Namun, porsi makan saya meningkat tiga kali lipat… hahahaha….
Secara rohani, tentu sulit saya mengukurnya, namun saya berharap, semoga Tangan Tuhan menyembuhkan kelemahan-kelemahan saya dan menuntun saya dan keluarga dalam menjalani kehidupan. Amin!
Kami berpamitan, pada teman-teman yang masih tinggal, dan juga pada Frater Blasius, OCSO. Dan… psst… kami malah dibawakan oleh-oleh berupa dua kaleng kue kering; kue coklat dan kestengels! Horeee!!!
Selamat tinggal Rawaseneng, semoga suatu saat bisa bertemu lagi! Berkah Dalem!

Pekanbaru, 4 Januari 2010
Agnes Bemoe & Ch. Mulyani

Minggu, 20 Desember 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Fifi, sang pudel setia, tertawa bahagia. Bermain bola ia, bersama kawan-kawannya. Ceria lekat di wajahnya. Bermain bola ia, saat harus berjaga...
Tak perlu tampil sempurna. Toh mata Manusia Setengah Dewa jauh di sana... Pikir Fifi si pudel setia.. Kemnali wajahnya cerah ceria.. Bermain bola ia, pada saat harus berjaga, tanpa ada rasa bersalah...
Yang penting citra yang sempurna, bukan tekun berkarya. Yang penting, pandai-pandailah memutar fakta.. Toh Sang Nyah sudah digenggamnya, dan Manusia Setengah Dewa jauh di sana...
Fifi, sang pudel setia, kembali bermain bola..

1 Suro 2009

Minggu, 13 Desember 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Hari ini, Fifi, si pudel hitam yang setia, kembali bersuka. Menatap ia piring tempat makannya. Wajahnya langsung ceria. Ha..! Hari ini, lebih banyak remah sisa dari sang Nyah untuknya. Hmm... Nikmat rasanya.. Sekali lagi hatinya bersuka.. Melihat lebih banyak tumpukan remah sisa di piringnya...

Mengapa tak kubuat sedari mula, hingga dapat kukumpulkan remah sisa. Pikir Fifi, pudel setia. Padahal caranya mudah saja. Tinggal merapat ke kaki sang Nyah, lalu menjilatinya dengan mesra... Ditengah keringnya cinta, karna prilaku kasar membabi buta, jilatan Fifi si pudel setia tentu bak angin surga.. Sang Nyah teriba ... Mengulurlah dengan mudah remah-remah sisa makannya... Untuk Fifi, si pudel setia...

Hari ini, Fifi, si pudel setia, menikmati setiap remah yang tertuang di piringnya...

Hari ini sang Nyah makin tebar pesona...


Pekanbaru, 12 Desember 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Syahdan Fifi, pudel hitam sang Nyah, tak terima perilaku cermin celaka. Mengapa memancar wajah sang Nyah, buruk belaka.. Teringat ketika ia, haturkan cermin celaka itu pada sang Nyah, dengan moncong kecilnya... Sang Nyah menangis mengiba.. Fifi tak kuasa menahan murka. Cermin celaka, bersiaplah untuk sebuah bala, pikir Fifi, pudel setia.

Setia? Pudel nakal yang dulunya sering digetok sang Nyah, sekarang seperti kena amnesia. Lupa sejarah...

Berlari-lari tergesa, Fifi si pudel setia, pergi ke Manusia Setengah Dewa. Fifi, pudel setia mendesak Manusia Setengah Dewa: cermin harus terima mala, atas pancaran buruk rupa sang Nyah...

Manusia Setengah Dewa bersabda: lempar batu untuk cermin tak beretika! Rajam hingga tak bernyawa! Manusia Setengah Dewa tlah bersabda.
Fifi, si pudel setia, langsung bersuka. Akhirnya, tamat riwayatmu, cermin celaka. Dan aku melenggang bak primadona.. Fifi, pudel hitam yang tiba-tiba setia...

Sementara sang Nyah, masih berderai air mata... Wahai, hatiku yang luka dan teraniaya... Karena cermin celaka, buruk rupanya tersebar ke mana mana.. Sang Nyah tambah deras berurai air mata... Semakin tampak ia berduka, semakin baik nampaknya... Maka, sang Nyah menambah duka di wajahnya... Bertutur ia, penuh bunga... Dan seperti yang ia duga, Sang Manusia Setengah Dewa terperdaya...

Hari ini, Fifi si pudel setia, melempar batu pertama, pada cermin celaka...

Hari ini, Manusia setengah Dewa melampiaskan murka pada cermin celaka di hadapan mereka...

Sang Nyah, dalam hati tertawa...

Pekanbaru, 9 November 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Hari ini Nyah Ndut lagi berduka. Wajahnya suram berurai air mata. Terduduk ambruk pertanda pasrah. Kembali dilihatnya cermin di tangannya. Raut yang di dalam cermin ternyata tak seindah sangkanya.. Hatinya terluka...


Di kakinya duduk pudel hitamnya. Fifi namanya. Menjilati kaki sang Nyah sambil menghibur mesra.

Pudel yang dulu nakal dan sering digetok sang Nyah, sekarang bagai kena amnesia. Lupa sejarah.

Pudel manis bergulung manja, di bawah kaki sang Nyah... Seolah berkata, aku akan selalu menjagamu Nyah...Jangan lagi berduka...

Hari ini, Nyah Ndut tengah menuai laba, dari kepiawaiannya bermain drama..


Sebuah Cerpen oleh Agnes Bemoe
Pekanbaru, 9 Desember 2009

Jumat, 04 Desember 2009

POPPIES STREET

Poppies’ Street di malam itu. Ni Ketut Ayu berjalan gamang di antara toko kecil di samping jalan. Kakinya penat. Hatinya jauh lebih penat. Denpasar malam itu panas membara. Keringat mengucur di pelipisnya. Namun, bukan keringat itu benar yang mengganggunya. Perasaannya yang kecut menampar hatinya…

Ada saat dia ingin berhenti, duduk sebentar di tepi jalan yang ramai dan sibuk itu. Sekedar mengurut mata kakinya. Namun, terpikir juga olehnya, apa kata orang yang lalu lalang. Seorang gadis, duduk sendiri di tepi jalan. “Masih mending kalau aku disangka gila, kalau disangka perempuan bayaran…” Ketut Ayu tersenyum masam…

Kakinya mengayun lagi. Lebih berat dari semula. Hhh.. segala cara sudah kucoba… atau tampaknya sudah kucoba. Mungkin sebetulnya masih ada cara lain, tapi… apa? Hatinya meronta sendiri… terasa panas di badannya yang letih dan penat…

Ni Ketut Ayu tetap bergelut dengan pikirannya sendiri. Kenapa yang bagi orang lain menjadi berkat, untuknya berubah menjadi laknat… Sebutir peluh mengalir di pelipisnya. Denpasar bulan itu, gerah rasanya. Namun, bukan karena itu Ni Ketut Ayu berkeringat. Itu keringat dingin yang keluar dari dendam yang membara…

Dua puluh satu tahun usianya. Harusnya ia ada di bangku kuliah, atau jadi penari terkenal, atau pemandu wisata, atau … apalah yang membuatnya merasa berharga… Lihat dirinya: parasnya cantik. Orang bilang bak bulan purnama. Ia ikuti suatu kontes pemilihan model. Ia kirim foto-foto yang ia punya. Berharap siang dan malam, ia ikuti detik demi detik, bisa jadi foto model. Dalam doa-doanya hanya itu yang dimintakannya. Jadi foto model. Ia bisa mendapat uang, yang rencananya akan dipakainya untuk biaya kuliah.

Selepas SMA, orang tuanya tak punya biaya untuk kuliahnya. Jadilah ia serabutan, mencari kerja, untuk menutup perutnya sendiri dan membantu ibunya.
Tapi, boro-boro membantu ibunya, hari ke hari ia malah semakin menjadi benalu buat ibu dan adik-adiknya. Kerja tak juga didapatnya. Sumpah serapah ibunyalah yang ditelannya setiap harinya.

Oleh karena itu, bulat tekadnya, untuk jadi foto model. Dipintanya kepada Sang Hyang Widi, untuk cita-citanya yang satu itu, dengan peluh dan air mata… “Kabulkanlah yang satu ini… kabulkanlah yang satu ini…”
Semakin keras suara makian ibunya terdengar, semakin keras Ni Ketut Ayu menggedor pintu Sang Hyang Widi Wasa.

Obrolan tetangganya tentang pemilihan foto model seolah jadi jawaban buat doanya. Dengan pontang panting ia berfoto dan mengirimkan fotonya. Lengkap dengan data diri yang diminta.

Sejak saat itu, Ni Ketut Ayu melukis sebuah impian… untuk menjadi model…
Beberapa saat setelah mengirim foto-fotonya, Ni Ketut Ayu mendapat telpon: disuruh datang ke suatu tempat untuk ambil foto.

Ni Ketut Ayu girang bukan kepalang. Inilah saatnya! Inilah waktunya! Aku akan bebas…! Aku akan punya uang sendiri! Aku bebas...! Aku bebas…! Aku bebaaaaassss!!!!! Ni Ketut Ayu tak dapat menyembunyikan bahagianya. Dirancangnya untuk membeli babi guling dan lawar, sepulang dari berfoto…
Untuk kesekian kalinya Ni Ketut Ayu tersenyum bahagia… Namun, sayang, tipuan itu terlalu kejam, bahkan untuk Ni Ketut Ayu yang sudah kenyang dengan kejamnya kehidupan…

Agen itu ternyata agen bohong-bohongan… bukan agen foto model, seperti yang disebutkan. Agen itu ternyata agen mesum, tempat mencari gadis-gadis muda yang cantik, segar, tapi bodoh, dan putus asa…. Seperti dirinya….

Ni Ketut Ayu terhempas kembali ke dunianya dengan perasaan terluka. Sekali lagi. Nampaknya hidup belum cukup puas menyakitinya…
“Mungkin aku terlahir dengan kutuk dan tulah…” keluhnya suatu ketika. Begitu naïf aku melihat dunia ini. Kupikir masih tersedia kebaikan buat aku nikmati… Kupikir masih ada hari untuk aku syukuri…

Ni Ketut Ayu berjalan lagi. Lambat dan berat. Kelihatan sebuah motel kecil di tengah Poppies Street itu. Teringat olehnya, berapa motel, losmen, money changer, dan toko yang dia pinta untuk memberinya kerja. Kerja apa saja. Dia bersedia.

Namun, adaaaaa saja… Losmen tempat pertama dia kerja, tutup. Dengan alas an bangkrut, tokenya tak mau membayar gaji terakhirnya. Akibatnya, ia harus cari kerja lain, dengan kantong kosong. Di toko yang menjual kerajinan, dia tidak disukai oleh istri pemilik toko. Dia berhenti karena merasa tak enak. Di Money Changer juga begitu… Seolah semua pintu rejeki rame-rame menutup diri untuknya …

Orang bilang, kerja harus jujur. Di Money Changer, dia jujur, akibatnya, dibenci oleh teman-temannya, yang berjuang mencari hidup dari kutipan-kutipan. Dia dianggap sok… dan disingkiri seperti paria berpenyakit kusta…

Dia sungguh tak mengerti. Katanya, punya ketrampilan bisa memperlancar kerja. Nyatanya, di motel, kemampuan komputernya dan ketelitian kerjanya masih kalah dengan lenggok manis Ardiati, temannya. Ardiati beroleh tempat di front office, duduk di bawah ac. Sedangkan dirinya terdampar menjadi housekeeper. Bergumul dengan sapu dan tongkat pel. Dirinya yang punya kemampuan komputer dan teliti dalam bekerja…
Ardiati terus menerus mendapat bonus, di tengah kerjanya yang ceroboh dan suka bermalas-malasan kalau bos tak ada. Sementara ia mendapat ganjaran potongan gaji ketika bos menemukan sebuah nampan belum terambil dari sebuah kamar. Satu kesalahan dalam keseluruhan kerjanya… potongan gaji! Ni Ketut Ayu menelan ludah menahan geram… Jumlah yang bisa menghidupi keluarganya, direnggut begitu saja… Ketidak-adilan.. sulit diungkapkan dengan kata-kata, terutama kalau kita sedang merasakannya…

Tak tahan dengan kekejaman dan kesewenang-wenanganan bosnya, Ni Ketut Ayu memutuskan untuk berhenti. Ia menganggur lagi… Berbunyi lagi sumpah serapah ibunya…
“Manusia tak tau diri!”
“Tak berotak kau ya!”
“Sudah bagus kau kerja! Kenapa mesti keluar!!!”
“Mau makan apa kau!!”
“Menumpang saja bisamu!!”
“Tak juga kau laku! Biar ringan bebanku!!!”

Harga diri Ni Ketut Ayu benar-benar rontok dibuatnya… Sama sekali ia tak merasa berharga menjadi manusia…
Poppies Street, di malam itu. Malam yang panas di kota Denpasar… Ni Ketut Ayu berjalan terseok-seok. Beberapa kios kecil penjual baju-baju khas Bali yang terang benderang tak mampu menghangatkan hatinya…
Ia memantapkan hatinya…

Poppies Street melengkapi keindahannya dengan satu dua rumah penduduk yang bercorak Bali. Ni Ketut Ayu melihatnya dengan hati yang tersayat. Rumah yang hangat, makanan cukup, bersih, sehat, setiap anggota keluarga punya satu kamar untuk diri sendiri. Rumah yang cantik dan anggun, dengan taman kecil dan air mancur, di samping gapura kecil untuk pedupaan. Semuanya sempurna berbanding terbalik dengan rumahnya sendiri. Bukan rumah sebenarnya, tapi sebuah kamar untuk dia, ibunya, dan empat adiknya… Kamar kos yang pengap dan bau apek, karena semua barang tertumpuk di ruangan gelap itu. Nyamuk, tikus, dan kecoa, merupakan penghuni resmi lainnya, selain ia, ibunya, dan adik-adiknya…

Hmm… adik-adiknya… alangkah anehnya keluarga yang dimilikinya. Dengan empat orang adik, dia memiliki tiga orang ayah berbeda. Ayahnya sendiri, entah kemana sekarang, memiliki dua anak, dia dan adik di bawahnya. Ayahnya yang berikut memiliki satu orang anak, dan dua adek bungsunya punya ayah tersendiri…

Mereka datang dan pergi dalam kehidupan ibunya… nggg… tidak, rasanya, bukan merekalah yang datang dan pergi, tapi ibunyalah yang sibuk mencari laki-laki dan kemudian pergi meninggalkan mereka, bersama anak-anak yang tak bisa dihidupinya… Hh… bukan sesuatu yang bisa dibanggakan… Tapi itulah yang melekat pada kehidupannya…

Matanya nanar melihat rumah rumah itu. Hatinya marah menyadari bahwa ia belum pernah menikmati satu detikpun rasa bahagia bersama keluarga. Ia tidak marah karena kemiskinannya… namun, ia sangat kecewa, mengapa seolah tulah dan kutuk selalu mengikuti jejak langkahnya… mengapa tak satu pun pintu terbuka untuknya…, sehingga seolah ia tak punya kesempatan untuk keluar dari kemiskinannya…

Ni Ketut Ayu sudah sampai di ujung Poppies Street. Kakinya terseret penat, matanya nanar, keringatnya mengalir semakin deras. Sekarang bertambah dengan air matanya. Tangannya bergetar hebat, badannya lemah, terseret oleh kedua kakinya…

Sayup terdengar debur ombak pantai Kuta…
Ni Ketut Ayu melangkah ke sana…

Pekanbaru, 4 Desember 2009
17:09

Rabu, 02 Desember 2009

IDOLA - Sebuah Cerpen

Siang hari, di Surabaya yang panas (ah, jadi mirip lagu Franky and Jane!), sebenarnya tak terlalu enak untuk latihan menyanyi. Yang paling enak adalah di rumah, sambil nyruput es campur yang dijual di ujung gang.
Sania bergegas memasuki studio kecil di lantai dua. Berto sudah menunggu.
“Ayo, latihan, sudah banyak yang nunggu…!” Ah, Sweet Berto! Sania mencium sekilas pemuda bertubuh subur yang selalu penuh perhatian itu.

Semenjak menjuarai sebuah ajang pemilihan bintang di Jawa Timur enam bulan lalu, hidup Sania tiba-tiba berubah. Dari penyanyi yang mencoba mengais hidup dari pub yang satu ke pub yang lain Sania sepertinya bermetamorfosa menjadi seorang selebritis.
Setahun yang lalu Sania adalah cecurut dalam dunia hiburan. Tidak jarang ia tidak dapat job sama sekali. Dalam situasi seperti itu, satu-satunya pelarian Sania adalah pintu belakang bangunan besar di depan kamar kosnya yang sempit dan supek di daerah Dinoyo. Pintu ke arah Biara SVD. Dengan bantu-bantu para pastor di sana, apa saja, siram bunga, mendangir, membersihkan dapur, membersihkan kamar mandi, atau apa saja yang bisa ia kerjakan. Dengan itu Sania boleh mengganjal perutnya yang lapar.
Lalu, datanglah berita tentang ajang pemilihan bintang. Ia dengar dari Henny, temannya sesama entertainer di pub.
Sania larut dalam ribuan perserta se-Jawa Timur. Bahkan ia dengar, ada juga peserta dari bagian Indonesia Timur, seperti dari Manado, Bali, dan Flores. Sania sedikit gentar. Prestasi terakhirnya adalah juara menyanyi se- SDnya waktu ia kelas IV. Selain itu, ia hanya penyanyi serabutan dari satu café ke café yang lain. Dari satu pub yang lain. Pernah juga ia jadi penyanyi untuk acara ulang tahun anak. Ia dikontrak oleh sebuah rumah makan ayam goreng terkenal. Sania ingat, ia harus mengenakan baju badut yang besarnya minta ampun. Panasnya apalagi! Dan di dalamnya, ia harus tetap bernyanyi. Menghibur anak-anak kecil yang lebih banyak main dan makan daripada mendengarkan lagunya.
Tapi rupanya, dewi fortuna sedang tersenyum padanya, setelah sekian lama memalingkan muka. Sania mendapat banyak dukungan SMS dan kemudian terpilih menjadi juara.
Sontak ia laris bak pisang goreng. Ia diminta menyanyi di banyak tempat. Di mana-mana tepuk tangan gemuruh menyambutnya. Ia tidak lagi punya waktu luang, apalagi sambil kelaparan. Daftar nomor telponnya bertambah panjang, kali ini bukannya ia yang menelpon untuk menanyakan job, tetapi orang-oranglah yang minta ia menyanyi, dan kemudian meninggalkan nomor telfon.
Sania ingat, dengan penuh gembira ia masuk ke pintu belakang Biara Soverdi. Pater Petu sedang di taman, mendangir. Dengan penuh semangat ia menceritakan kemenangannya. Pastor tua itu tertawa-tawa seolah-olah mengejek, padahal Sania tahu, pastor itu merasa sangat senang dan bangga.
“Kau jangan lupa e.. sama gereja…,” begitu kata Pater Petu dengan logat Timurnya yang kental. Sania terus ingat kata-kata itu.

Maksud Pater Petu adalah supaya ia tidak boleh lupa ke gereja. Tapi, Sania mendapati dirinya begitu padat dengan kegiatan show. Ketika ia mendapat honor yang mengejutkan, saking besarnya, setelah menyanyi di Yogyakarta, Sania membeli sebuah tempat lilin perak berukuran besar dari Kota Gede.
Sania meletakkan tempat lilin perak itu di dekat patung Bunda Maria di kapel Biara Soverdi.
“Sungguh, tempat lilin ini tidak bisa menggantikan tempatku di gereja ini. Tapi, perkenankanlah aku sebentar mencari duniaku…” begitu doa Sania di depan Bunda Maria.
Setelah itu pun bila ia ada kesempatan ke luar kota, ia selalu mencari pernik-pernik rohani.

Dan, rupanya, bintang Sania semakin terang. Sebuah perusahaan rekaman dari Jakarta menawarinya untuk rekaman. Sania langsung tenggelam dalam proyek rekaman tersebut. Proses rekaman inilah yang mengenalkan ia pada beberapa pesohor negeri ini. Bertemu dengan Laudya Chintya Bella yang mencoba rekaman. Juga bertemu dengan the raising star Nidji.
Ia bertemu juga dengan Rika Roeslan yang menyumbang satu lagu buat albumnya. Berkat hubungan baik produsernya tentu saja. Tapi ia memang suka lagu-lagu mantan personel The Groove itu.
Sekarang Sania sedang dalam tahap mengambilan suara untuk lagu-lagunya.

Namun, sebenarnya, ada satu obsesi Sania yang terbesar. Itu adalah menyanyi dengan Delon. Pemenang sebuah kontes menyanyi yang diadakan oleh sebuah stasiun TV yang terkenal beberapa tahun yang lalu. Sejak Delon masih jadi peserta yang culun dan imut, Sania sudah suka. Suaranya halus dan bersih. Baginya Delon punya kelebihan karena ia tidak hanya menyanyi, tetapi menyanyi dengan hati. Delon sangat layak jadi pemenang.
Sania ingin sekali dapat kesempatan bernyanyi dengan Delon. Ia sering membayangkan menyanyi bersama Delon. Lagunya “The Prayer”. Waw! Sania sesak nafas sendiri kalau memikirkan khayalannya. Baginya, menyanyi bersama Delon adalah prestasinya yang paling ingin dikejarnya. Ia tidak ingin se-ngetop Agnes Monika, dengan segudang award, apalagi sampai go-international. Whew! Gak lah! Sania cuman kepingin menyanyi untuk dapat uang. Dan kalau boleh mimpi, ia pingin sekali menyanyi dengan si imut Delon.

Rupanya Sania benar-benar sedang lucky berat. Untuk peringatan Natal dan Tahun baru mendatang Panitia Natal Ekumene Surabaya ternyata mengundang Delon! Dan hebatnya lagi, Sania diminta untuk duet bersama Delon!
“Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan, …..” Sania tergagap-gagap sendiri waktu mendengar berita itu. Matanya terbelalak dan napasnya seperti mau berhenti.
Delon! Delon yang diimpi-impikannya, akan datang dan bernyanyi bersamanya! Ingin rasanya ia menghentikan perputaran dunia ini, hanya supaya ia bisa menikmati sensasi kegembiraannya atas kabar yang baru saja didengarnya!

Sania latihan gila-gilaan. Tidak hanya itu, dengan cerewet ia menentukan baju yang akan dipakainya. Ia tidak mau lagi baju dari sponsor yang biasanya tidak sesuai dengan seleranya. Ia minta dibuatkan baju panjang berwarna broken-white berleher bulat dengan bordir dan manik di bagian pinggulnya. Baju itu dirasanya paling pas untuk dipakai bersanding dengan Delon. Sania memimpikan dirinya seolah-olah Delon adalah pengantin laki-lakinya. Sania pingin tampil cantik untuk pengantin laki-lakinya.

Akhirnya, tibalah malam yang dinantikan itu. Oh, ya, kemarin sore ia sudah latihan dengan Delon. Wah! Pujaannya itu memang benar-benar cool! Sangat rendah hati, sangat kooperatif. Dan tentunya, suaranya sangat bening dan halus. Dan betapa bangganya Sania karena ia bisa mendengarnya dengan kupingnya sendiri!
Malam itu, pohon Natal setinggi tiga meter yang dipajang di sudut panggung terlihat begitu indahnya. Kesempatan Sania akan datang sebentar lagi. Ceritanya, Sania akan muncul dari belakang panggung, sementara Delon dari tengah penonton. Mereka akan bertemu di tengah panggung. Kemudian Delon akan meraih tangannya…
Alunan musik sudah terdengar. Dentingan “Panis Angelicus” dari piano yang dimainkan oleh Lexy, seorang pianis di gereja. Sekaranglah Sania harus masuk…

“HEH!! Bengong aja! Kerja!!! Emang dengan bengong gitu bisa dapet duit! Ayo kerja lagi! Kamu pikir saya mau mbayarin orang bengong!” hamburan sumpah serapah itu keluar dari mulut Chandra, pengawas bar dangdut di sudut Surabaya itu.
Aku segera tersadar dari mimpiku. Mimpi di atas mimpi malah.

Aku memang Sania. Memang penyanyi. Tetapi bukan penyanyi terkenal pemenang kejuaraan. Aku salah seorang penyanyi dangdut di bar dangdut itu. Itu pun harus berebut perhatian dengan puluhan penyanyi bar dangdut yang rata-rata seksi dan molek.
Aku memang penggemar berat Delon. Dan aku memang sering memimpikan menyanyi bersama Delon. Tapi, tentu saja, biar dunia kiamat, bom atom berdetum untuk kedua kalinya, atau WTC terbangun kembali, tidak akan mungkin Delon menyanyi dengan seorang penyanyi serabutan di bar dangdut!
Mataku nanar menatap panggung kayu di depanku. Panggungku yang sebenarnya…

Dan yang benar juga adalah Pater Petu dengan pintu biaranya. Mereka bukan sekedar khayalanku. Pater Petu dengan biaranya yang memberiku sekedar nasi untuk menghangatkan perutku. Walaupun sampai sekarang, belum ada satu butir perak pun kuberikan pada biara itu.


Pekanbaru, 7 Januari 2007
Agnes Bemoe