Minggu, 20 Desember 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Fifi, sang pudel setia, tertawa bahagia. Bermain bola ia, bersama kawan-kawannya. Ceria lekat di wajahnya. Bermain bola ia, saat harus berjaga...
Tak perlu tampil sempurna. Toh mata Manusia Setengah Dewa jauh di sana... Pikir Fifi si pudel setia.. Kemnali wajahnya cerah ceria.. Bermain bola ia, pada saat harus berjaga, tanpa ada rasa bersalah...
Yang penting citra yang sempurna, bukan tekun berkarya. Yang penting, pandai-pandailah memutar fakta.. Toh Sang Nyah sudah digenggamnya, dan Manusia Setengah Dewa jauh di sana...
Fifi, sang pudel setia, kembali bermain bola..

1 Suro 2009

Minggu, 13 Desember 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Hari ini, Fifi, si pudel hitam yang setia, kembali bersuka. Menatap ia piring tempat makannya. Wajahnya langsung ceria. Ha..! Hari ini, lebih banyak remah sisa dari sang Nyah untuknya. Hmm... Nikmat rasanya.. Sekali lagi hatinya bersuka.. Melihat lebih banyak tumpukan remah sisa di piringnya...

Mengapa tak kubuat sedari mula, hingga dapat kukumpulkan remah sisa. Pikir Fifi, pudel setia. Padahal caranya mudah saja. Tinggal merapat ke kaki sang Nyah, lalu menjilatinya dengan mesra... Ditengah keringnya cinta, karna prilaku kasar membabi buta, jilatan Fifi si pudel setia tentu bak angin surga.. Sang Nyah teriba ... Mengulurlah dengan mudah remah-remah sisa makannya... Untuk Fifi, si pudel setia...

Hari ini, Fifi, si pudel setia, menikmati setiap remah yang tertuang di piringnya...

Hari ini sang Nyah makin tebar pesona...


Pekanbaru, 12 Desember 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Syahdan Fifi, pudel hitam sang Nyah, tak terima perilaku cermin celaka. Mengapa memancar wajah sang Nyah, buruk belaka.. Teringat ketika ia, haturkan cermin celaka itu pada sang Nyah, dengan moncong kecilnya... Sang Nyah menangis mengiba.. Fifi tak kuasa menahan murka. Cermin celaka, bersiaplah untuk sebuah bala, pikir Fifi, pudel setia.

Setia? Pudel nakal yang dulunya sering digetok sang Nyah, sekarang seperti kena amnesia. Lupa sejarah...

Berlari-lari tergesa, Fifi si pudel setia, pergi ke Manusia Setengah Dewa. Fifi, pudel setia mendesak Manusia Setengah Dewa: cermin harus terima mala, atas pancaran buruk rupa sang Nyah...

Manusia Setengah Dewa bersabda: lempar batu untuk cermin tak beretika! Rajam hingga tak bernyawa! Manusia Setengah Dewa tlah bersabda.
Fifi, si pudel setia, langsung bersuka. Akhirnya, tamat riwayatmu, cermin celaka. Dan aku melenggang bak primadona.. Fifi, pudel hitam yang tiba-tiba setia...

Sementara sang Nyah, masih berderai air mata... Wahai, hatiku yang luka dan teraniaya... Karena cermin celaka, buruk rupanya tersebar ke mana mana.. Sang Nyah tambah deras berurai air mata... Semakin tampak ia berduka, semakin baik nampaknya... Maka, sang Nyah menambah duka di wajahnya... Bertutur ia, penuh bunga... Dan seperti yang ia duga, Sang Manusia Setengah Dewa terperdaya...

Hari ini, Fifi si pudel setia, melempar batu pertama, pada cermin celaka...

Hari ini, Manusia setengah Dewa melampiaskan murka pada cermin celaka di hadapan mereka...

Sang Nyah, dalam hati tertawa...

Pekanbaru, 9 November 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Hari ini Nyah Ndut lagi berduka. Wajahnya suram berurai air mata. Terduduk ambruk pertanda pasrah. Kembali dilihatnya cermin di tangannya. Raut yang di dalam cermin ternyata tak seindah sangkanya.. Hatinya terluka...


Di kakinya duduk pudel hitamnya. Fifi namanya. Menjilati kaki sang Nyah sambil menghibur mesra.

Pudel yang dulu nakal dan sering digetok sang Nyah, sekarang bagai kena amnesia. Lupa sejarah.

Pudel manis bergulung manja, di bawah kaki sang Nyah... Seolah berkata, aku akan selalu menjagamu Nyah...Jangan lagi berduka...

Hari ini, Nyah Ndut tengah menuai laba, dari kepiawaiannya bermain drama..


Sebuah Cerpen oleh Agnes Bemoe
Pekanbaru, 9 Desember 2009

Jumat, 04 Desember 2009

POPPIES STREET

Poppies’ Street di malam itu. Ni Ketut Ayu berjalan gamang di antara toko kecil di samping jalan. Kakinya penat. Hatinya jauh lebih penat. Denpasar malam itu panas membara. Keringat mengucur di pelipisnya. Namun, bukan keringat itu benar yang mengganggunya. Perasaannya yang kecut menampar hatinya…

Ada saat dia ingin berhenti, duduk sebentar di tepi jalan yang ramai dan sibuk itu. Sekedar mengurut mata kakinya. Namun, terpikir juga olehnya, apa kata orang yang lalu lalang. Seorang gadis, duduk sendiri di tepi jalan. “Masih mending kalau aku disangka gila, kalau disangka perempuan bayaran…” Ketut Ayu tersenyum masam…

Kakinya mengayun lagi. Lebih berat dari semula. Hhh.. segala cara sudah kucoba… atau tampaknya sudah kucoba. Mungkin sebetulnya masih ada cara lain, tapi… apa? Hatinya meronta sendiri… terasa panas di badannya yang letih dan penat…

Ni Ketut Ayu tetap bergelut dengan pikirannya sendiri. Kenapa yang bagi orang lain menjadi berkat, untuknya berubah menjadi laknat… Sebutir peluh mengalir di pelipisnya. Denpasar bulan itu, gerah rasanya. Namun, bukan karena itu Ni Ketut Ayu berkeringat. Itu keringat dingin yang keluar dari dendam yang membara…

Dua puluh satu tahun usianya. Harusnya ia ada di bangku kuliah, atau jadi penari terkenal, atau pemandu wisata, atau … apalah yang membuatnya merasa berharga… Lihat dirinya: parasnya cantik. Orang bilang bak bulan purnama. Ia ikuti suatu kontes pemilihan model. Ia kirim foto-foto yang ia punya. Berharap siang dan malam, ia ikuti detik demi detik, bisa jadi foto model. Dalam doa-doanya hanya itu yang dimintakannya. Jadi foto model. Ia bisa mendapat uang, yang rencananya akan dipakainya untuk biaya kuliah.

Selepas SMA, orang tuanya tak punya biaya untuk kuliahnya. Jadilah ia serabutan, mencari kerja, untuk menutup perutnya sendiri dan membantu ibunya.
Tapi, boro-boro membantu ibunya, hari ke hari ia malah semakin menjadi benalu buat ibu dan adik-adiknya. Kerja tak juga didapatnya. Sumpah serapah ibunyalah yang ditelannya setiap harinya.

Oleh karena itu, bulat tekadnya, untuk jadi foto model. Dipintanya kepada Sang Hyang Widi, untuk cita-citanya yang satu itu, dengan peluh dan air mata… “Kabulkanlah yang satu ini… kabulkanlah yang satu ini…”
Semakin keras suara makian ibunya terdengar, semakin keras Ni Ketut Ayu menggedor pintu Sang Hyang Widi Wasa.

Obrolan tetangganya tentang pemilihan foto model seolah jadi jawaban buat doanya. Dengan pontang panting ia berfoto dan mengirimkan fotonya. Lengkap dengan data diri yang diminta.

Sejak saat itu, Ni Ketut Ayu melukis sebuah impian… untuk menjadi model…
Beberapa saat setelah mengirim foto-fotonya, Ni Ketut Ayu mendapat telpon: disuruh datang ke suatu tempat untuk ambil foto.

Ni Ketut Ayu girang bukan kepalang. Inilah saatnya! Inilah waktunya! Aku akan bebas…! Aku akan punya uang sendiri! Aku bebas...! Aku bebas…! Aku bebaaaaassss!!!!! Ni Ketut Ayu tak dapat menyembunyikan bahagianya. Dirancangnya untuk membeli babi guling dan lawar, sepulang dari berfoto…
Untuk kesekian kalinya Ni Ketut Ayu tersenyum bahagia… Namun, sayang, tipuan itu terlalu kejam, bahkan untuk Ni Ketut Ayu yang sudah kenyang dengan kejamnya kehidupan…

Agen itu ternyata agen bohong-bohongan… bukan agen foto model, seperti yang disebutkan. Agen itu ternyata agen mesum, tempat mencari gadis-gadis muda yang cantik, segar, tapi bodoh, dan putus asa…. Seperti dirinya….

Ni Ketut Ayu terhempas kembali ke dunianya dengan perasaan terluka. Sekali lagi. Nampaknya hidup belum cukup puas menyakitinya…
“Mungkin aku terlahir dengan kutuk dan tulah…” keluhnya suatu ketika. Begitu naïf aku melihat dunia ini. Kupikir masih tersedia kebaikan buat aku nikmati… Kupikir masih ada hari untuk aku syukuri…

Ni Ketut Ayu berjalan lagi. Lambat dan berat. Kelihatan sebuah motel kecil di tengah Poppies Street itu. Teringat olehnya, berapa motel, losmen, money changer, dan toko yang dia pinta untuk memberinya kerja. Kerja apa saja. Dia bersedia.

Namun, adaaaaa saja… Losmen tempat pertama dia kerja, tutup. Dengan alas an bangkrut, tokenya tak mau membayar gaji terakhirnya. Akibatnya, ia harus cari kerja lain, dengan kantong kosong. Di toko yang menjual kerajinan, dia tidak disukai oleh istri pemilik toko. Dia berhenti karena merasa tak enak. Di Money Changer juga begitu… Seolah semua pintu rejeki rame-rame menutup diri untuknya …

Orang bilang, kerja harus jujur. Di Money Changer, dia jujur, akibatnya, dibenci oleh teman-temannya, yang berjuang mencari hidup dari kutipan-kutipan. Dia dianggap sok… dan disingkiri seperti paria berpenyakit kusta…

Dia sungguh tak mengerti. Katanya, punya ketrampilan bisa memperlancar kerja. Nyatanya, di motel, kemampuan komputernya dan ketelitian kerjanya masih kalah dengan lenggok manis Ardiati, temannya. Ardiati beroleh tempat di front office, duduk di bawah ac. Sedangkan dirinya terdampar menjadi housekeeper. Bergumul dengan sapu dan tongkat pel. Dirinya yang punya kemampuan komputer dan teliti dalam bekerja…
Ardiati terus menerus mendapat bonus, di tengah kerjanya yang ceroboh dan suka bermalas-malasan kalau bos tak ada. Sementara ia mendapat ganjaran potongan gaji ketika bos menemukan sebuah nampan belum terambil dari sebuah kamar. Satu kesalahan dalam keseluruhan kerjanya… potongan gaji! Ni Ketut Ayu menelan ludah menahan geram… Jumlah yang bisa menghidupi keluarganya, direnggut begitu saja… Ketidak-adilan.. sulit diungkapkan dengan kata-kata, terutama kalau kita sedang merasakannya…

Tak tahan dengan kekejaman dan kesewenang-wenanganan bosnya, Ni Ketut Ayu memutuskan untuk berhenti. Ia menganggur lagi… Berbunyi lagi sumpah serapah ibunya…
“Manusia tak tau diri!”
“Tak berotak kau ya!”
“Sudah bagus kau kerja! Kenapa mesti keluar!!!”
“Mau makan apa kau!!”
“Menumpang saja bisamu!!”
“Tak juga kau laku! Biar ringan bebanku!!!”

Harga diri Ni Ketut Ayu benar-benar rontok dibuatnya… Sama sekali ia tak merasa berharga menjadi manusia…
Poppies Street, di malam itu. Malam yang panas di kota Denpasar… Ni Ketut Ayu berjalan terseok-seok. Beberapa kios kecil penjual baju-baju khas Bali yang terang benderang tak mampu menghangatkan hatinya…
Ia memantapkan hatinya…

Poppies Street melengkapi keindahannya dengan satu dua rumah penduduk yang bercorak Bali. Ni Ketut Ayu melihatnya dengan hati yang tersayat. Rumah yang hangat, makanan cukup, bersih, sehat, setiap anggota keluarga punya satu kamar untuk diri sendiri. Rumah yang cantik dan anggun, dengan taman kecil dan air mancur, di samping gapura kecil untuk pedupaan. Semuanya sempurna berbanding terbalik dengan rumahnya sendiri. Bukan rumah sebenarnya, tapi sebuah kamar untuk dia, ibunya, dan empat adiknya… Kamar kos yang pengap dan bau apek, karena semua barang tertumpuk di ruangan gelap itu. Nyamuk, tikus, dan kecoa, merupakan penghuni resmi lainnya, selain ia, ibunya, dan adik-adiknya…

Hmm… adik-adiknya… alangkah anehnya keluarga yang dimilikinya. Dengan empat orang adik, dia memiliki tiga orang ayah berbeda. Ayahnya sendiri, entah kemana sekarang, memiliki dua anak, dia dan adik di bawahnya. Ayahnya yang berikut memiliki satu orang anak, dan dua adek bungsunya punya ayah tersendiri…

Mereka datang dan pergi dalam kehidupan ibunya… nggg… tidak, rasanya, bukan merekalah yang datang dan pergi, tapi ibunyalah yang sibuk mencari laki-laki dan kemudian pergi meninggalkan mereka, bersama anak-anak yang tak bisa dihidupinya… Hh… bukan sesuatu yang bisa dibanggakan… Tapi itulah yang melekat pada kehidupannya…

Matanya nanar melihat rumah rumah itu. Hatinya marah menyadari bahwa ia belum pernah menikmati satu detikpun rasa bahagia bersama keluarga. Ia tidak marah karena kemiskinannya… namun, ia sangat kecewa, mengapa seolah tulah dan kutuk selalu mengikuti jejak langkahnya… mengapa tak satu pun pintu terbuka untuknya…, sehingga seolah ia tak punya kesempatan untuk keluar dari kemiskinannya…

Ni Ketut Ayu sudah sampai di ujung Poppies Street. Kakinya terseret penat, matanya nanar, keringatnya mengalir semakin deras. Sekarang bertambah dengan air matanya. Tangannya bergetar hebat, badannya lemah, terseret oleh kedua kakinya…

Sayup terdengar debur ombak pantai Kuta…
Ni Ketut Ayu melangkah ke sana…

Pekanbaru, 4 Desember 2009
17:09

Rabu, 02 Desember 2009

IDOLA - Sebuah Cerpen

Siang hari, di Surabaya yang panas (ah, jadi mirip lagu Franky and Jane!), sebenarnya tak terlalu enak untuk latihan menyanyi. Yang paling enak adalah di rumah, sambil nyruput es campur yang dijual di ujung gang.
Sania bergegas memasuki studio kecil di lantai dua. Berto sudah menunggu.
“Ayo, latihan, sudah banyak yang nunggu…!” Ah, Sweet Berto! Sania mencium sekilas pemuda bertubuh subur yang selalu penuh perhatian itu.

Semenjak menjuarai sebuah ajang pemilihan bintang di Jawa Timur enam bulan lalu, hidup Sania tiba-tiba berubah. Dari penyanyi yang mencoba mengais hidup dari pub yang satu ke pub yang lain Sania sepertinya bermetamorfosa menjadi seorang selebritis.
Setahun yang lalu Sania adalah cecurut dalam dunia hiburan. Tidak jarang ia tidak dapat job sama sekali. Dalam situasi seperti itu, satu-satunya pelarian Sania adalah pintu belakang bangunan besar di depan kamar kosnya yang sempit dan supek di daerah Dinoyo. Pintu ke arah Biara SVD. Dengan bantu-bantu para pastor di sana, apa saja, siram bunga, mendangir, membersihkan dapur, membersihkan kamar mandi, atau apa saja yang bisa ia kerjakan. Dengan itu Sania boleh mengganjal perutnya yang lapar.
Lalu, datanglah berita tentang ajang pemilihan bintang. Ia dengar dari Henny, temannya sesama entertainer di pub.
Sania larut dalam ribuan perserta se-Jawa Timur. Bahkan ia dengar, ada juga peserta dari bagian Indonesia Timur, seperti dari Manado, Bali, dan Flores. Sania sedikit gentar. Prestasi terakhirnya adalah juara menyanyi se- SDnya waktu ia kelas IV. Selain itu, ia hanya penyanyi serabutan dari satu café ke café yang lain. Dari satu pub yang lain. Pernah juga ia jadi penyanyi untuk acara ulang tahun anak. Ia dikontrak oleh sebuah rumah makan ayam goreng terkenal. Sania ingat, ia harus mengenakan baju badut yang besarnya minta ampun. Panasnya apalagi! Dan di dalamnya, ia harus tetap bernyanyi. Menghibur anak-anak kecil yang lebih banyak main dan makan daripada mendengarkan lagunya.
Tapi rupanya, dewi fortuna sedang tersenyum padanya, setelah sekian lama memalingkan muka. Sania mendapat banyak dukungan SMS dan kemudian terpilih menjadi juara.
Sontak ia laris bak pisang goreng. Ia diminta menyanyi di banyak tempat. Di mana-mana tepuk tangan gemuruh menyambutnya. Ia tidak lagi punya waktu luang, apalagi sambil kelaparan. Daftar nomor telponnya bertambah panjang, kali ini bukannya ia yang menelpon untuk menanyakan job, tetapi orang-oranglah yang minta ia menyanyi, dan kemudian meninggalkan nomor telfon.
Sania ingat, dengan penuh gembira ia masuk ke pintu belakang Biara Soverdi. Pater Petu sedang di taman, mendangir. Dengan penuh semangat ia menceritakan kemenangannya. Pastor tua itu tertawa-tawa seolah-olah mengejek, padahal Sania tahu, pastor itu merasa sangat senang dan bangga.
“Kau jangan lupa e.. sama gereja…,” begitu kata Pater Petu dengan logat Timurnya yang kental. Sania terus ingat kata-kata itu.

Maksud Pater Petu adalah supaya ia tidak boleh lupa ke gereja. Tapi, Sania mendapati dirinya begitu padat dengan kegiatan show. Ketika ia mendapat honor yang mengejutkan, saking besarnya, setelah menyanyi di Yogyakarta, Sania membeli sebuah tempat lilin perak berukuran besar dari Kota Gede.
Sania meletakkan tempat lilin perak itu di dekat patung Bunda Maria di kapel Biara Soverdi.
“Sungguh, tempat lilin ini tidak bisa menggantikan tempatku di gereja ini. Tapi, perkenankanlah aku sebentar mencari duniaku…” begitu doa Sania di depan Bunda Maria.
Setelah itu pun bila ia ada kesempatan ke luar kota, ia selalu mencari pernik-pernik rohani.

Dan, rupanya, bintang Sania semakin terang. Sebuah perusahaan rekaman dari Jakarta menawarinya untuk rekaman. Sania langsung tenggelam dalam proyek rekaman tersebut. Proses rekaman inilah yang mengenalkan ia pada beberapa pesohor negeri ini. Bertemu dengan Laudya Chintya Bella yang mencoba rekaman. Juga bertemu dengan the raising star Nidji.
Ia bertemu juga dengan Rika Roeslan yang menyumbang satu lagu buat albumnya. Berkat hubungan baik produsernya tentu saja. Tapi ia memang suka lagu-lagu mantan personel The Groove itu.
Sekarang Sania sedang dalam tahap mengambilan suara untuk lagu-lagunya.

Namun, sebenarnya, ada satu obsesi Sania yang terbesar. Itu adalah menyanyi dengan Delon. Pemenang sebuah kontes menyanyi yang diadakan oleh sebuah stasiun TV yang terkenal beberapa tahun yang lalu. Sejak Delon masih jadi peserta yang culun dan imut, Sania sudah suka. Suaranya halus dan bersih. Baginya Delon punya kelebihan karena ia tidak hanya menyanyi, tetapi menyanyi dengan hati. Delon sangat layak jadi pemenang.
Sania ingin sekali dapat kesempatan bernyanyi dengan Delon. Ia sering membayangkan menyanyi bersama Delon. Lagunya “The Prayer”. Waw! Sania sesak nafas sendiri kalau memikirkan khayalannya. Baginya, menyanyi bersama Delon adalah prestasinya yang paling ingin dikejarnya. Ia tidak ingin se-ngetop Agnes Monika, dengan segudang award, apalagi sampai go-international. Whew! Gak lah! Sania cuman kepingin menyanyi untuk dapat uang. Dan kalau boleh mimpi, ia pingin sekali menyanyi dengan si imut Delon.

Rupanya Sania benar-benar sedang lucky berat. Untuk peringatan Natal dan Tahun baru mendatang Panitia Natal Ekumene Surabaya ternyata mengundang Delon! Dan hebatnya lagi, Sania diminta untuk duet bersama Delon!
“Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan, …..” Sania tergagap-gagap sendiri waktu mendengar berita itu. Matanya terbelalak dan napasnya seperti mau berhenti.
Delon! Delon yang diimpi-impikannya, akan datang dan bernyanyi bersamanya! Ingin rasanya ia menghentikan perputaran dunia ini, hanya supaya ia bisa menikmati sensasi kegembiraannya atas kabar yang baru saja didengarnya!

Sania latihan gila-gilaan. Tidak hanya itu, dengan cerewet ia menentukan baju yang akan dipakainya. Ia tidak mau lagi baju dari sponsor yang biasanya tidak sesuai dengan seleranya. Ia minta dibuatkan baju panjang berwarna broken-white berleher bulat dengan bordir dan manik di bagian pinggulnya. Baju itu dirasanya paling pas untuk dipakai bersanding dengan Delon. Sania memimpikan dirinya seolah-olah Delon adalah pengantin laki-lakinya. Sania pingin tampil cantik untuk pengantin laki-lakinya.

Akhirnya, tibalah malam yang dinantikan itu. Oh, ya, kemarin sore ia sudah latihan dengan Delon. Wah! Pujaannya itu memang benar-benar cool! Sangat rendah hati, sangat kooperatif. Dan tentunya, suaranya sangat bening dan halus. Dan betapa bangganya Sania karena ia bisa mendengarnya dengan kupingnya sendiri!
Malam itu, pohon Natal setinggi tiga meter yang dipajang di sudut panggung terlihat begitu indahnya. Kesempatan Sania akan datang sebentar lagi. Ceritanya, Sania akan muncul dari belakang panggung, sementara Delon dari tengah penonton. Mereka akan bertemu di tengah panggung. Kemudian Delon akan meraih tangannya…
Alunan musik sudah terdengar. Dentingan “Panis Angelicus” dari piano yang dimainkan oleh Lexy, seorang pianis di gereja. Sekaranglah Sania harus masuk…

“HEH!! Bengong aja! Kerja!!! Emang dengan bengong gitu bisa dapet duit! Ayo kerja lagi! Kamu pikir saya mau mbayarin orang bengong!” hamburan sumpah serapah itu keluar dari mulut Chandra, pengawas bar dangdut di sudut Surabaya itu.
Aku segera tersadar dari mimpiku. Mimpi di atas mimpi malah.

Aku memang Sania. Memang penyanyi. Tetapi bukan penyanyi terkenal pemenang kejuaraan. Aku salah seorang penyanyi dangdut di bar dangdut itu. Itu pun harus berebut perhatian dengan puluhan penyanyi bar dangdut yang rata-rata seksi dan molek.
Aku memang penggemar berat Delon. Dan aku memang sering memimpikan menyanyi bersama Delon. Tapi, tentu saja, biar dunia kiamat, bom atom berdetum untuk kedua kalinya, atau WTC terbangun kembali, tidak akan mungkin Delon menyanyi dengan seorang penyanyi serabutan di bar dangdut!
Mataku nanar menatap panggung kayu di depanku. Panggungku yang sebenarnya…

Dan yang benar juga adalah Pater Petu dengan pintu biaranya. Mereka bukan sekedar khayalanku. Pater Petu dengan biaranya yang memberiku sekedar nasi untuk menghangatkan perutku. Walaupun sampai sekarang, belum ada satu butir perak pun kuberikan pada biara itu.


Pekanbaru, 7 Januari 2007
Agnes Bemoe

MY TEACHERS AND ME…

Kalo ngomongin guru… ada buanyaaak sekali guru yang kuingat dengan penuh cinta dan hormat… ini beberapanya:

Aku tidak ingat guru TK-ku waktu aku sekolah di TK Santa Clara Surabaya. Mungkin karena aku juga nggak terlalu lama sekolah di situ. Aku baru ngeh punya guru waktu aku sekolah di TK Santa Maria Blitar. Aku suka sama satu bu Guru (maaaaf buuuuuu… lupa namanya…), karena menurutku dia cantik… hihihi… Mungkin karena aku masih kecil. Senang ato nggak masih karena penampilan fisiknya. Terus terang aku ingat, aku suka karena ibu guru itu pake lipstik warna merah. Menurutku saat itu, pakai lipstik itu cantik sekali….:)

Aku juga suka sama Suster… (aduuuuh, lagi-lagi lupa namanya…) soalnya selain lembuuut (kayaknya ga ada de guru TK-ku yang ga lembut), juga suka bagi-bagi gambar kudus… hehehehe…

Masuk ke SD, di SD Santa Maria Blitar, yang aku ingat adalah guru Kelas 1-ku: Bu Kamthi. Orangnya manis, lembut tutur katanya, tapi juga disiplin (biasa de.. disiplin jaman dulu: tangan dilipat de el el…. Hehehehe…). Tapi, aku ingat, aku dekeeeeet banget sama ibu ini. Aku sering diajak ke rumahnya, di daerah Bendogerit, naik dokar…. Wow! Ibu ini akhirnya menikah dengan orang Flores (eh, Kupang mungkin), apa karena terinspirasi oleh murid seperti aku yah… hahahahaha…..

Naik ke kelas III aku pindah ke Pasuruan, di SD Sang Timur Pasuruan. Aku inget banget, guru yang PUALING AKU SUKA: Ibu Sukeni!!!!!! Beliau guru kelas IV. Wes, pokok e semuanya aku suka, ngajarnya jelas dan enak, ramah tapi tegas, adil, disiplin, en tetep keibuaaaaaaaan banget! Belajar karesidenan-karesidenan di Jawa yang membingungkan tuh jadi menyenangkan, belajar sejarah juga ga kayak belajar sejarah, karena Ibu Sukeni ini seperti ndongeng aja…

Aku inget, pernah di pelajaran kesenian, kami disuruh nyanyi satu-satu. Aku nyanyi lagu ini:
IBU GURU KAMI, PANDAI SEKALI
PANDAI BERCERITA ASIK SEKALI
KAMI DIBIMBINGNYA DENGAN SETULUS HATI
JADI ORANG BERGUNA DI KEMUDIAN HARI…

Saat itu memang aku ingin menyanyikan lagu itu untuk Bu Sukeni.
Eh, suer, aku inget, Bu Sukeni agak terdiam, (entah terharu entah kupingnya sakit.. hihihihi…) , tapi trus aku disuruh nyanyi satu lagu lagi…

Sampai aku naik kelas, BAHKAN sampe aku SMP kalo ketemu dengan Bu Sukeni, aku masih suka teriak: BUU SUKENIIIIIIII………!

Di SD juga aku punya satu guru lagi yang aku suka. Guruku kelas VI: Bu Agatha Damai Christiah. Bu Christ aku manggilnya. Kalo bu Sukeni sudah berumur, nah kalo Bu Christ ini masih muda. Orangnya nyenengin, aku ngerasa sama kakakku aja (ups! Sok kenal sok deket!) Ato paling enggak sama Bibiku lah… Aku sering main ke rumah kontrakannya di daerah Jalan Niaga Pasuruan. Bu Christ-lah yang tahu aku ada bakat baca puisi, trus aku disuruh ikut Lomba Deklamasi se-Kabupaten Pasuruan, en ibu itu yang nglatih. Eh, juara lo… hehehehe…
Terakhir, ketika aku mau lulus, bu Christ juga harus pindah, karena calon suaminya ditugaskan di Ngawi, Jawa Tengah. Sampai beberapa lama aku masih surat-suratan sama Bu Christ. Aku inget, bahasa beliau tu puitiiiiiiiis banget… cocok sama aku…
Kemudian aku SMP di SMP Adisucipto Pasuruan. Yang langsung aku suka adalah Pak Tono, guru Fisika dan Matematika. Sukanya karena: ga cuman cerdas en ngajarnya enak, tapi, Pak Tono ini ENGGAK PERNAH menolak pertanyaan sebodoh apapun! Malahan, dia ngasi waktunya untuk pertanyaan yang diluar pelajaran. Pernah, Andreas, temenku, nanya: “Pak, saya lebih gemuk daripada Sukanto. Tapi kok jerawat Sukanto lebih banyak? Kan saya yang lebih banyak lemak?”…
Kalo kami ga tanya, dia yang giliran nanya. so keluarlah pertanyaan aneh-aneh:
“Kenapa tutup gelas kok suka lengket di gelas?”
“Kenapa seng kok dibuat bergelombang?”
“Kenapa kok kalo mobil direm mendadak, kita seperti terpelanting?”

Pertanyaan-pertanyaan “sederhana” yang tentu aja ga begitu sederhana buat kami saat itu…
Belajar sama Pak Tono, aku ngerasain enaknya belajar Fisika dan Matematika. Orang bilang guru mat or fis harus killer, ga tuh…! Pak Tono ga killer, en aku malah jadi jatuh hati sama Fisika en Matematika…
Waktu Pak Tono diterima jadi PNS, kami sama-sama nangis dan “demo”, minta Pak Tono ga pindah dari sekolah kami… hihihihi…. Pak Tono bilang: “Status saja yang berubah, yakni jadi PNS, tapi penugasan tetap di SMP Adisucipto…”…. Hwaaa… langsung bubar deh demonstrasinya…. Hahahahaha….

Satu lagi yang aku suka en aku hormati, yakni Bapak Kepala Sekolahku yang juga mengajar PMP (Pendidikan Moral Pancasila), namanya Bapak Yono (R.M. Yono Hadisiswoyo).
Beliau ngajar PMP bedaaa sekali sama guru lain: ga model hafalan. Malah, beliau ga suka kalo hafal plek! Satu hal yang aku SALUUUUUT berat, beliau lewat bidang studi PMP mampu merubah pola pikir kami tentang MUSYAWARAH dan MUFAKAT.

Aku tahunya waktu ada rapat OSIS. Biasanya kan, dalam rapat orang cenderung milih voting, apalagi kalo masih kecil-kecil kayak kami. Aku heran, kok, kakak-kakak kelasku ga mau voting, sedapat bisa musyawarah. TERNYATA, aku baru ngeh setelah diajar sama Pak Yono.. aku lupa gimana caranya, tapi beliau bener-bener mengarahkan kami untuk tidak terlena dengan voting, dan lebih memanfaatkan musyawarah. Dari situ aku SALUUUT berat! Apalagi sekarang aku tau, susahnya menanamkan NILAI pada anak… bener-bener deh…. Kalo ada kata yang setepat-tepatnya untuk menggambarkan kekagumanku pada bapak itu…

Apalagi, kalo kuperhatikan, Pak Yono ini kalo masuk kelas, yang pertama kali beliau lakukan adalah: merapikan meja guru, kalo taplak kisut dikebaskannya, vas diletakkan dengan rapi…. Wees pokok e ruapi pol!!! Kemudian dia nyapa dulu anak-anaknya, ga sekedar nyapa basa basi gitu… tapi ditanyanya: tadi barusan belajar apa? Gimana? Bisa enggak? Cape enggak? So, biarpun beliau Kepsek, beliau ga pernah sok jaim or sok galak. Beliau memang tipe cool (maklum produk asli Jawa Tengah), tapi ga jaim. Aku ngerasa aku lebih banyak HORMATnya dari pada takutnya…. Sama beliau memang aku nggak deket dalam pengertian bisa haha-hihi gitu, tapi suer, sampe sekarang aku mengingat beliau dengan HORMAT sekali…
Waktu aku menang Juara I Lomba Karya Tulis Tingkat Kabupaten Pasuruan, dan kemudian lagi Juara I Tingkat Propinsi Jawa Timur, wah, beliau keliatannya banggaaaaaa banget… aku diajak keliling ke semua kelas, en dicrita-critakan bahwa aku juara blah blah blah… wheh! So pasti aku yang memang dari sononya narsis ini seneng banget…:D

Kelas II pertengahan aku pindah ke Waikabubak, Sumba Barat. Satu setengah tahun di situ, kayaknya aku dan guruku saling merasa sama-sama biasa… aku tergolong biasa buat mereka, mereka juga untukku.

Sekarang, setelah aku jadi guru, aku baru bisa merasa SALUT, atas niat, upaya, kehendak baik para guruku di Sumba, dengan situasi dan kondisi yang serba terbatas, mereka sepertinya ga menganggap itu masalah… Terutamanya aku salut sama kepsekku Bapak Josep Pea Wutun, B.A. Aku merasa, beliau orang yang sangat punya visi tentang pendidikan. Ini kelihatan pada saat beliau member pengarahan kepada kami. Jarang sekali ada yang seperti ini…

Next, lulus SMP aku sekolah di SMA Cor Jesu Malang.
Banyak guru yang aku suka, malah kayaknya lebih banyak guru yang aku suka daripada yang aku ga suka. Bener, bukan karena sekedar sentimentil bernostalgi… no no no no!
Di Kelas I aja: aku suka bu Ani (guru Mat) karena lembut, keibuan, en ngajarnya juelasssss banget! Aku suka pak Tengsoe (Sastra, Bahasa Indonesia): soalnya kuanggap revolusioner untuk ukurang guru jaman itu. En aku suka yang begitu. APALAGI aku suka sastra… Baru kali ini aku ngeliat guru bahasa Indonesia ngerti sastra…. So, enak banget mengunyah-ngunyah bahasa dan sastra dengan Pak Tengsoe. Bu Susi (ngajar mat): biarpun “dingin”, tapi ga sok or jahat. Nerangkannya uenak! Logikanya lancar dan jelas. Pak Paul (?) guru Fisika, juga aku suka, karena ngajarnya yang enak, jelas, dan komunikatif banget. Bu … (aduh, kok lupa ya…) yang ngajar bahasa Inggris: aku suka dia karena bahasa Inggrisnya yang oke punya, en tipe soal ulangan dia; dia bilang “Nomor 1 itu kalian bisa karena kalian belajar/menghafal, dan nomor 2 itu karena kalian menganalisa”. Whew.. buatku itu sangat menantang…
Pak Pudiarjo yang ngajar Ekonomi… aku inget dia bilang: saya sudah besar, saya beri garis-garis besarnya, nah, kalian masih kecil, kalin cari garis-garis kecilnya… hehehehe….

En, so pasti guru yang ngikutin kami sampe lulus: Pak Pur, guru sejarah. Wah, boleh dibilang, beliau ini diam-diam kujadikan role model ku dalam ngajar. Sejarah dari ujung dunia mana juga dia tau.. ga pernah bawa buku ke kelas, semua ada di kepalanya! Humoris, tapi juga tegas.. Suka nyebelin, karena ulangannya cuman dua nomor, dua-duanya esai: itu juga mentok-mentok nilainya 5! Nilai 2 juga ga segen beliau kasi….:|
Dulu kami merutuk-rutuk, sekarang baru aku tau, bernalar dan berlogika tu memang perlu dilatih. Nalar dan logika kami saat itu memang di level 2! Hihihihihihi….

Satu lagi, guru yang aku suka: Pak Wahyudi. Guru Melukis. Aku suka karena beliau ngajarin banyak teknik ngelukis, yang sekarang kalo aku lagi suntuk, kupraktekkan…. Lumayan, suntuk ilang…. (biarpun temen-temenku suka ga ngerti aku nglukis apa… hahahahaha…)
Last but not least, aku suka sama Sr. Marietta, OSU, Kepsekku. Beliau memang ga ngajar. Tapi, beliau ngasi retret orientasi kepada kami di kelas I. Aku suka karena beliau ga cuman cerdas, tapi gimana ya… tegas, sekaligus menyenangkan… Sama beliau aku jatohnya kagum berat. Beberapa program beliau aku contek untuk kupraktekkan.. (ga papa ya sTer…)
Satu hal yang paling aku inget sampe detik ini… waktu aku kelas I aku sebenernya agak minder, soale temen-temenku tajir-tajir en dari kota-kota besar se Indonesia. Tapi, aku seneng banyak hal dan banyak ikut kegiatan ekskul. Salah satunya teater (yang dibimbing oleh Pak Tengsoe). Waktu ada perpisahan kelas III, teater sekolah nampil, aku ikut juga nampil. Pas kebetulan, vocal grup kelasku yang jadi juara lomba vocal grup ditampilkan. Aku juga ikut vocal grup.
Beberapa hari setelah malam perpisahan itu, aku ketemu sama Sr. Marietta di lorong sekolah. Bukan ketemu sih, tapi Suster lagi jalan di lorong sekolah gitulah…
Tau-tau, waktu ngeliat aku, Suster bilang:
“Agnes, bakatmu banyak. Kembangkan!”

Huik!! Kaget aku, kepsekku tau namaku! Itu aja udah bikin buanggaaaanya minta ampun! Apalagi dia tahu aku en encouraged me. Aku yang “cuman” dari kota kecil en biasa-biasa aja ngerasa jadi istimewaaaaaaa kali….:)
Tentu aja saat itu aku malah bengong kayak kambing ompong…. Sekakarng, baru aku tahu maknanya ekskul de el el… bukan “hura-hura” en nghabisin waktu, apalagi sarana cari duit buat sekolah, tapi ada empowering didalamnya. Seandainya sekolah menyadari hal ini…

Waktu kuliah, dosen memang ga sedekat guru ya.. tapi, tetap aja ada yang aku suka berat. Salah satunya bu Wening namanya. Beliau bilang: “jangan ragu-ragu menjadikan murid-murid sebagai eksperimen” dalam pengertian yang baik. Artinya, mengajarlah dengan kreatif! Inovatif! Aku suka itu….

Sekarang, aku sendiri jadi guru… Just for your information: kakekku guru, ibuku guru. Mungkin udah hukum “karma” aku jadi guru… hihihihihi….

Aku ga tau aku guru yang gimana… tapi, sebisa mungkin hal-hal menyenangkan dan bermanfaat yang kudapat dari guru-guruku itu mau kuteruskan sama murid-muridku.. Mungkin dengan itu aku bisa ngucapkan TERIMA KASIH buat guru-guruku… hal yang ga bisa kulakukan langsung di hadapan mereka sekarang…

Semoga mereka semua selalu diberikati Tuhan. Amin.

Pekanbaru, 25 November 2009
11:03

Selasa, 27 Oktober 2009

KEPEMIMPINAN YANG UPTODATE

KEPEMIMPINAN SEKOLAH SELAMA INI
Dengan segala hormat terhadap beberapa sekolah yang telah berupaya keras dalam mengembangkan institusinya, harus diakui dengan besar hati, bahwa beberapa sekolah lainnya masih lambat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan terkini, baik dalam hal kepemimpinan, manajemen, ataupun dalam hal isu-isu kependidikan sendiri, yang seharusnya menjadi keahlian sebuah institusi pendidikan.
Pada saat dunia dan institusi-institusi lainnya telah berkembang dan matang dengan suatu perkembangan baru, masih ada saja sekolah yang baru tahu atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang isu tersebut. Contohnya dalam hal manajemen dan kepemimpinan. Masih banyak sekolah yang menerapkan pola kepemimpinan/manajemen lama, seperti terpusatnya kepemimpinan pada sosok kepala sekolah. Tidak ada pengorganisasian, tidak ada pendelegasian, tidak ada diskusi untuk membicarakan sesuatu. Kepala sekolah mengatur semua urusan, dari hulu ke hilir. Dan yang lebih memprihatinkan, masih ada saja sekolah yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki visi tentang kependidikan.
Pada beberapa sekolah, terjadi bahwa penunjukkan kepala sekolah dilakukan oleh institusi di atasnya, misalnya yayasan. Beberapa pertimbangan pragmatis, seperti pengamanan kepentingan orang-orang di dalam yayasan menjadi pertimbangan penunjukkan kepala sekolah. Dampaknya, tujuan utama yakni pendidikan seringkali diturunkan prioritasnya di bawah tujuan mengamankan kepentingan seseorang ataupun sekelompok orang. Untuk kepentingan sesaat dan sangat pragmatis itu, tidak jarang ditunjuk orang-orang yang tidak punya visi kependidikan.
Dengan tidak dimilikinya visi kependidikan ini, orientasi pengembangan sekolah tidaklah diletakkan pada esensi pendidikan, melainkan lebih ke kosmetika-kosmetika pendidikan. Kepala sekolah lebih getol membentuk kelompok-kelompok ilmiah, untuk persiapan olimpiade ini itu, ketimbang menyediakan sarana, waktu dan perhatian untuk kegiatan-kegiatan yang bisa membina lebih banyak anak, misalnya olah raga atau seni. Kepala sekolah juga lebih suka membangun taman, misalnya, daripada membeli buku untuk kekayaan perpustakaan. Membangun taman diangap lebih memberikan daya jual bagi sekolah daripada membeli buku yang malah dianggap pemborosan.
Karena kurangnya visi kependidikan ini jugalah, yang kemudian membuat cara pandang terhadap guru dan murid menjadi jauh berbeda. Guru bukanlah dijadikan aset sekolah, sebagai ujung tombak untuk tercapainya tujuan pendidikan. Guru diturunkan derajatnya hanya menjadi pekerja-pekerja di sekolah itu. Sebagai pekerja, guru dianggap sudah diberi gaji, oleh karenanya guru harus bekerja sesuai dengan tuntutan kepala sekolah. Guru, dalam kacamata seorang kepala sekolah yang tidak punya visi, tidak lebih adalah orang bayaran.
Tidak jarang, kita temukan, kepala-kepala sekolah yang enggan mengirimkan gurunya untuk pelatihan, karena pelatihan-pelatihan semacam itu dianggap hanya menghabiskan biaya. Kalaupun guru mau ikut pelatihan tersebut, guru harus menggunakan biaya pribadi.
Karena menganggap guru adalah orang bayaran, kepala sekolah tidak segan-segan mendamprat, mencaci, bahkan menghina guru yang dianggapnya tidak bekerja sesuai dengan perintahnya. Tidak jarang, perbuatan-perbuatan yang jauh dari pantas ini dilakukan di depan orang lain, entah guru lain, orang tua murid, atau bahkan anak murid sendiri, yang mana lebih menambah luka hati seorang guru. Ini karena kepala sekolah yakin para guru itu derajatnya jauh di bawahnya. Dan karena kepala sekolah merasa diri sebagai penguasa yang berhak melakukan apa saja terhadap para bawahannya.
Kepala-kepala sekolah yang tidak memiliki visi kependidikan cenderung bekerja untuk kepentingan pribadi/prestise pribadi daripada kebaikan sekolah/yayasan. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah apakah kepentingannya sudah terpenuhi, tidak perduli apakah kepentingan itu bermanfaat untuk pendidikan di sekolah atau tidak. Ini persis seperti yang diungkapkan oleh Ken Blanchard dan Phil Hodges dalam buku mereka “Lead Like Jesus”, yakni “Hati yang didorong oleh kepentingan sendiri melihat dunia dengan membawa keyakinan “memberi sedikit, mengambil banyak”. Orang dengan hati yang didorong oleh kepentingan diri sendiri menempatkan agenda, keamanan, status dan kepuasan diri sendiri lebih tinggi dari pada urusan oran yang terkena akibat dari pikiran dan tindakan mereka.” (Lead Like Jesus, P. 51)
Mereka juga biasanya tidak punya inisiatif. Inisiatif lebih sering datang dari otorita yang lebih atas lagi. Kepala sekolah seperti ini sebenarnya tidak lebih pekerja bagi otorita yang lebih di atasnya, walaupun kemudian berlagak sebagai penguasa tunggal di sekolahnya. Kepala sekolah tidak berani mengambil resiko atas inisiatif yang diambilnya, oleh karenanya lebih baik tidak berinisiatif. Bila muncul tantangan atas inisiatif itu, dengan mudahnya kepala sekolah dapat mengatakan bahwa itu sudah menjadi keputusan yayasan/ataupun otoritas lain di atasnya.
Hakekat kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Namun pada kepala sekolah yang tidak memiliki keutamaan ini, kesempatan sebagai kepala sekolah dianggap sebagai sebuah legitimasi untuk menguasai orang-orang di bawahnya. Kepala sekolah dianggap sebagai penguasaan. Implikasinya unsur mengontrol sangat kuat, lebih kuat daripada unsur membina. Seorang pemimpin sejati memandang kekurangan bawahannya sebagai bagian dari kekuarangannya sendiri, dan secara bijaksana mengajak bawahannya untuk memperbaiki diri. Seorang pemimpin sejati memiliki kewibawaan untuk melakukan itu. Tetapi kepala sekolah yang berlaku sebagai penguasa lebih senang berlaku sebagai polisi: getol mencari/mencatat sampai sedetil-detilnya kesalahan/kekurangan bawahan. Lebih senang mendapati anak buahnya dalam keadaan bersalah, lebih puas kalau bisa menangkap basah, daripada berupaya menciptakan atmosfer yang kondusif bagi anak buahnya untuk bekerja. Tidak jarang, kepala sekolah seperti ini tega memasang beberapa guru sebagai “telik sandi” untuk mengawasi sesama rekannya, dan menerima informasi-informasi dari “mata-matanya” ini. Kepala sekolah tidak peduli, bahwa hal itu menimbulkan perpecahan dan ketidakpercayaan di antara sesama rekan kerja. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah ia bisa mengontrol bawahanya, dia tidak perduli pada rusaknya atmosfer kerja yang kondusif.
Kepala sekolah seperti ini juga tidak memiliki dan tidak peduli pada ketrampilan-ketrampilan manajerial, tidak punya kemampuan mendelegasi, karena mereka tidak percaya anak buahnya bisa melaksanakan kerjanya. Setiap langkah anak buahnya akan dipantaunya, untuk memastikan apakah perintahnya telah dijalankan. Parahnya lagi, kepala sekolah seperti ini hanya bisa menyuruh, dan memberi tuntutan bahwa suruhannya terlaksana dengan baik. Jarang sekali mereka sendiri bisa melakukannya dengan baik atau bahkan lebih baik. Sama juga jarangnya dengan mereka tampil sebagai orang yang bisa diajak berdiskusi untuk membicarakan sesuatu. Mereka takut kewibawaan mereka berkurang kalau mengajak diskusi para stafnya.
Mereka sangat peka terhadap wilayah kekuasaannya. Mereka ketakutan kekuasaannya berkurang kalau mereka mendelegasikan pekerjaan kepada para stafnya. Dalam pandangan mereka, kekuasaan harus mutlak di tangan mereka. Semua keputusan, sampai pada hal-hal teknis yang sangat remeh temeh pun harus keluar dari mulut mereka. Tidak segan keluar dari mulut mereka: “Saya kepala sekolah di sini, bukan Pak A atau Bu B. Sayalah yang mengambil keputusan.”
Mereka suka menjilat ke atas dan menekan ke bawah. Memberi gambaran begitu bagusnya kepada atasannya untuk menyenangkan hati atasan, dan untuk mempertahankan posisi. Padahal di saat yang sama menginjak dan menindas orang-orang yang dianggap bawahannya. Atasan yang cerdas biasanya tidak mudah dikelabuhi seperti ini. Namun demikian, tidak jarang, bahwa atasan kepala sekolah terdiri dari orang-orang yang lebih suka dijilat, dan menerima lapora ABS, daripada mengecek langsung ke lapangan.
Dalam hal keuangan, sekolah dijalankan seperti menjalankan toko, orientasi pada jumlah uang yang masuk, semua pengeluaran yang tidak langsung menghasilkan laba, akan dianggap sebagai expense. Tidak jarang kita temukan kenyataan bahwa kegiatan bina iman, rekoleksi, atau retret di sekolah katolik, malah dianggap menghabiskan dan menghambur-hamburkan biaya. Sama juga nasibnya dengan kegiatan pembinaan guru, ataupun pembelian buku-buku pustaka.

TANTANGAN KEPEMIMPINAN KINI
Pola kepemimpinan seperti yag disebutkan di atas sudah tidak cocok lagi jaman sekarang ini. Ini karena ada beberapa perkembangan dalam dunia pendidikan yang membutuhkan reaksi yang tepat dan cerdas dari pala pelaku pendidikan.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa memimpin sebuah institusi pendidikan katolik membutuhkan tanggung jawab lebih. Ini karena diyakini bahwa institusi pendidikan ini adalah juga perpanjangan tangan Tuhan untuk menyampaikan kabar baikNya kepada umat manusia. Kalimat ini tidak boleh berhenti sebagai jargon saja, tetapi harus dihayati oleh setiap pemimpin. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh gereja makro harus juga dihayati sebagai tantangan bagi institusi pendidikan katolik.
Selain itu, akhir-akhir ini kita juga diingatkan, secara khusus oleh Steven R. Covey dalam bukunya “The 8th Habit” bahwa dunia tanpa kita sadari mempunyai kecenderungan untuk berubah. Zaman manusia dengan para pekerja pengetahuannya sudah mulai ditinggalkan. Di masa mendatang, manusia-manusia yang bijaksanalah yang survive. Kita sedang memasuki abad kebijaksanaan. Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnyalah menjadi yang pertama dalam menyadari hal ini. Kepala sekolah sebagai pimpinannya seharusnya menjadi motor penggeraknya.
Di Indonesia sendiri, dunia pendidikan baru-baru ini disentakkan dengan disahkan UU BHP. Terlepas dari kontroversinya, mau tidak mau UU yang sudah disahkan ini harus dijalankan. Ini merupakan sebuah tantangan yang tidak ringan bagi institusi pendidikan.

KEPEMIMPINAN YANG SESUAI
Supaya tidak lagi menjadi institusi yang selalu ketinggalan dalam menghadapi isu-isu dan perubahan-perubahan terkini, maka sekolah membutuhkan kepala sekolah yang benar-benar memiliki visi kependidikan. Kepala sekolah yang memahami benar tentang pendididkan, memiliki gambaran yang benar untuk mengarahkan dan mengelola sekolahnya sehingga benar-bebar menjadi tempat pendidikan. Kepala sekolah yang mencurahkan seluruh energinya untuk mewujudkan gambaran tersebut.
Dalam institusi pendidikan katolik, referensi kepemimpinan seharusnyalah pada Sang Teladan Utama, Yesus. Dalam “Lead like Jesus” Ken Blanchard dan Phil Hodges kembali menegaskan bahwa pemimpin yang baik adalah yang melayani dan bukan minta dilayani. Kalimat ini sudah sering kali kita baca melalui Kita Suci. Namun, tidak dapat dipungkiri, relevansinya masih tak tertandingi. Pemimpin yang melayani diri sendiri bereaksi terhadap segala hal yang terjadi pada mereka. Jika Anda berkata sesuatu kepada mereka atau melakukan sesuatu yang menyinggung kesombongan atau ketakutan mereka, mereka memberikan reaksi. Mereka tidak banyak berpikir tentang atau mempertimbangkan kepentingan terbaik dari orang lain atau hubungan mereka. Mereka melihat sesuatu dari posisi mereka sendiri dan kadang-kadang membayangkan diri mereka pada posisi orang lain. Orang yang sombong atau penuh rasa takut cepat melakukan penlaian, cepat melakukan serangan, dan cepat menarik tanggung jawab atas kesalahan dan lamban memuji. Pemimpin sebagai pelayan, sebaliknya, merespons terhadap segala sesuatu yang terjadi terhadap mereka. Sebelum bertindak, mereka selalu mengambil langkah mundur, bahkan satu atau dua langakah, dari emosi sesaat dan menerapkan nilai tertentu untuk mengecek situasi yang tidak sesuai dengan keingan untuk melayani kepentingan umum. Mereka cepat mendengarkan, lamban menilai, lamban marah, dan cepat berbalik memuji orang lain.
Ken Blanchard juga mengingatkan bahwa keutamaan pemimpin ada dalam kematangan karakter personalnya. Sama seperti Yesus yang memulai karyanya dengan menempa dirinya sendiri, sebelum memilih murid-muridnya. Dengan itu, seorang pemimpin diharapkan bisa menjadi pemimpin yang personal transformasional (p. 26). Selanjutnya, Ken Blanchard dan Phil Hodges mengusulkan empat hal yang harus dikembangkan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, yakni memimpin dengan hati, kepala, tangan, dan kebiasaan (P.40)
Selain itu buku “The 8th Habit” yang ditulis oleh Steven R. Covey, mengingatkan bahwa ada perubahan yang mau tidak mau harus diakui sedang terjadi. Yakni perubahan menuju abad kebijaksanaan. Seorang pemimpin menurut Covey, tidak harus seseorang yang menjadi atasan di suatu institusi. Siapa saja dalam dalam institusi itu bisa mengembangkan kemampuan kepemimpinannya. Semua orang diajak untuk menemukan suara hatinya sebagai sebuah anugerah dan kemudian mengilhami orang lain untuk menemukan suara hati mereka. Inilah yang menurut Covey, tantangan paling berat bagi seorang pemimpin.
Dan, tantangan terbaru yang harus dihadapi oleh institusi-institusi pendidikan di Indoensia adalah dengan terbitnya UU BHP. UU ini secara drastis telah merubah konfigurasi pengelolaan/kepemimpinan di yayasan dan kemudian sekolah. Dengan adanya UU ini, kepala sekolah harus benar-benar menjadi institusi yang otonom dan mandiri. Bila sebelumnya, kepala sekolah hanya menjadi pelaksana dari kebijakan dan keputusan yayasan, maka kini, kepala sekolah harus mengambil alih semua pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh yayasan. Sekolah-sekolah yang telah membiasakan diri dengan atmosfer yang efektif yang diciptakan bersama antara pimpinan dan seluruh karyawannya tidak akan terlalu kesulitan menghadapinya.

PENUTUP
Perkembangan dalam dunia pendidikan berlangsung begitu cepat, sejalan juga dengan perkembangan yang terjadi pada dunia pada umumnya. Penyintas bagi perubahan-perubahan ini adalah mereka-mereka yang mampu beradaptasi secara cerdas, bukan hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk suatu kepentingan yang jauh lebih panjang. Bahkan untuk kepentingan terlaksananya karya Allah di tengah dunia.
Sosok strategis dalam menyikapi perubahan-perubahan ini adalah kepala sekolah. Oleh karenanya, sudah saatnya kepala sekolah dikondisikan menjadi motor penggerak, untuk mencapai visi dan misi pendidikan di sekolah. Sudah saatnya kepala sekolah menjadi orang yang paling up-to-date di institusinya. (db)

Pekanbaru, 25 Mei 2009
Agnes Bemoe

Dimuat di EDUCARE Oktober 2009

Senin, 05 Oktober 2009

SEJARAH SINGKAT YAYASAN PRAYOGA RIAU

Sejarah karya pendidikan katolik di Propinsi Riau terbagi menjadi tiga periode yaitu: Masa Misi, Masa Yayasan Prayoga Perwakilan Riau (YPPR), dan Masa Yayasan Prayoga Riau (YPR).

I. MASA MISI

Pendidikan Katolik pertama kali dicanangkan oleh para misionaris Kapusin dan beberapa suster Kongregasi Kasih Yesus dan Maria (KYM) dengan kedatangan mereka di kota Bagansiapiapi pada tahun 1928. Mereka membuka sekolah yang diberi nama Hai Ching School (HCS) dengan jumlah murid 27 orang. Pada tahun yang sama, tidak lama setelah membuka sekolah di Bagansiapiapi, para misionaris dari Belanda juga merintis sekolah-sekolah di Selatpanjang. Sekolah yang didirikan pertama kali adalah sebuah Taman Kanak-Kanak.

Dalam perkembangannya, pada tahun 1942, ketika Jepang menjajah Indonesia, para pastor dan suster Belanda ini diusir dan diasingkan, sehingga sekolah HCS di Bagansiapiapi pun ditutup. Untungnya, seorang awam katolik bernama Kho Hok Yan dengan berani tetap membuka sekolah dengan bendera “sekolah katolik”. Tahun 1949 para pastor Belanda tadi diperbolehkan kembali ke Bagansiapiapi dan mereka membuka kembali sekolah RK Hai Ching School. Waktu itu jumlah siswa sudah semakin banyak, yaitu 150 orang. Sementara itu di Selatpanjang pada tahun 1962 Pastor Bergamin, S.X. dan Pastor Laurentius, S. X. mulai membangun SMP dengan nama “Yos Sudarso”.

Selanjutnya, pada tahun 1953 didirikan sebuah sekolah TK di Pekanbaru, di daerah yang saat itu bernama Jalan Raya Bangkinang atau Batu Satu. Sekarang, daerah inilah yang dikenal sebagai jalan Ahmad Yani, tempat berdirinya SD Santa Maria 1. Yang merintis pembangunan sekolah-sekolah ini adalah para pastor Xaverian, yakni Pastor R. Danielli, S. X. dan Pastor Nardello, S. X. Awalnya, mereka mendirikan gedung gereja dan pastoran. Di dekat pastoran tersebut dibangunlah TK Santa Maria, sebagai cikal bakal sekolah-sekolah di Pekanbaru. Pada 1956 SD Santa Maria dibangun, dilanjutkan dengan SMP Santa Maria pada tahun 1961 dan tahun 1972 SMA Santa Maria Pekanbaru.

Upaya para misionaris untuk memajukan pendidikan di Riau tidak hanya terbatas di daerah-daerah pesisir yang saat itu relatif lebih mudah dijangkau. Tahun 1960 mereka mulai masuk ke daerah pedalaman, yakni ke Duri dan Airmolek. Pada tahun 1960 dibangun sebuah SD dan SMP di daerah Sebanga, Duri, yang saat itu masih berupa hutan. Mula-mula sekolah ini dibagun untuk keperluan pendidikan anak-anak karyawan PT Caltex Pacific Indonesia (PT CPI), namun dalam perjalanannya sekolah-sekolah ini juga diminati oleh masyarakat di luar PT CPI.

Di Airmolek sekolah mulai dibuka pada tahun 1961 yakni dengan didirikannya sebuah Taman Kanak-Kanak. Pada mulanya sekolah ini menempati sebuah rumah kosong milik seorang karyawan di Stanvac bernama Bollier. Dalam perkembangannya pada tahun 1968 didirikan gedung sekolah dengan delapan ruang kelas dan satu ruang kantor di atas tanah dan perkebunan yang dihibahkan oleh Bapak Bollier.

II. MASA YAYASAN PRAYOGA PERWAKILAN RIAU (YPPR)

Sekolah-sekolah yang didirikan olah para misionaris itu kemudian diserahkan kepada Keuskupan Padang untuk pengelolaan lebih lanjut. Yang mengelolanya adalah Yayasan Prayoga. Untuk sekolah-sekolah di daerah Riau disebut sebagai Yayasan Prayoga Perwakilan Riau.

Perkembangan Yayasan Prayoga Perwakilan Riau (YPPR) tidak bisa dilepaskan dari peran besar Pastor Adolfo La Ruffa, S.X., selaku Ketua YPPR. Pada masa kepemimpinannya, sekolah-sekolah yang telah dirintis oleh para misionaris semakin dikembangkan. Perluasan, pembangunan gedung, serta penambahan fasilitas dilakukan terus menerus. Tahun 1969 mulai dibangun SD Santa Maria 2 Pekanbaru. Tahun 1970, TK dan SD Santa Theresia Airmolek juga dibangun. Selanjutnya pada periode 1974 – 1979 dibangun dan dilengkapilah sekolah-sekolah di Duri, Dumai, Bagansiapiapi, Selatpanjang, dan Pekanbaru.

Tidak hanya pembangunan fisik saja yang diutamakan oleh YPPR, mutu dan kesejahteraan guru pun diperhatikan. Guru dan karyawan diikutsertakan dalam program Yadapen. Pada masa ini juga mulai diberlakukan penghapusan uang sekolah untuk anak karyawan.

Peraturan-peraturan yayasan pun mulai ditata menjadi lebih baik dan kemudian dilegalkan.

Pada waktu itu YPPR sudah dibagi menjadi beberapa wilayah/koordinatorat, yaitu:

a. Duri – Dumai – Bagansiapiapi

b. Airmolek

c. Pekanbaru

d. Selatpanjang

Ketua YPPR yang pertama adalah Pastor Adolfo La Ruffa, S. X. dilanjutkan oleh Pastor Arnoldi, S. X., Pastor dr. Yohanes Halim, Pr., kemudian Pastor Antonius Konseng, Pr., M. Sc.

III. MASA YAYASAN PRAYOGA RIAU (YPR)

Perkembangan sekolah/pendidikan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Tahun 2001 muncul Undang-Undang Yayasan yang berimplikasi pada pemisahan karya kependidikan dan kesehatan di Yayasan Prayoga. Oleh karenanya, tahun 2002 YPPR berubah menjadi Yayasan Prayoga Riau (YPR) dan secara khusus mengelola bidang pendidikan. Mulai tahun itu juga YPR menjadi sebuah lembaga otonom yang terpisah dari Yayasan Prayoga yang berkedudukan di Padang.

Sejak berdirinya YPR, semakin banyak perhatian yang diberikan oleh Pengurus Yayasan baik kepada siswa, maupun pada pendidik dan tenaga kependidikan. Rehabilitasi dan renovasi diadakan dimana-mana: penambahan fasilitas untuk siswa seperti laboratorium IPA dan Bahasa, buku-buku perpustakaan, serta alat-alat multimedia; pelatihan-pelatihan untuk para guru. Dalam bidang kesejahteraan, pendidik dan tenaga kependidikan diikutsertakan dalam Jamsostek dan Askes, selain dari Yadapen yang sudah sejak lama diikuti. Koordinatorat yang semula terdiri dari empat wilayah berkembang menjadi tujuh koordinatorat. Koordinatorat-koordinatorat tersebut adalah:

a. Pekanbaru: meliputi wilayah kota Pekanbaru

b. Airmolek: meliputi wilayah kabupaten Indragiri Hulu

c. Duri: meliputi wilayah kecamatan Mandau, Tanah Putih, dan Simpang Bangko

d. Dumai: meliputi wilayah kota Dumai dan Pulau Rupat.

e. Selatpanjang: meliputi wilayah kecamatan Tebing Tinggi, Pulau Sungai Dua dan Kudap.

f. Bagansiapiapi: meliputi wilayah Bagansiapiapi

g. Baganbatu: meliputi wilayah Baganbatu dan Balam

Saat ini YPR mengelola 33 sekolah mulai dari Play Group sampai dengan SMA yang terdiri dari 1 buah Play Group, 7 Taman Kanak-kanak, 15 Sekolah Dasar, 7 Sekolah Menengah Pertama, dan 4 Sekolah Menengah Atas. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di 7 koordinatorat, baik yang terdapat di daratan Sumatera maupun yang berada di daerah kepulauan, seperti Pulau Tebing Tinggi, Pulau Bengkalis, Pulau Rupat, dan Pulau Padang. Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang berkarya di YPR berjumlah 614 orang. Siswa yang bersekolah sebanyak 13.310 orang.

Saat ini YPR dipimpin oleh Ir. Frans S. Sembiring sebagai Ketua Pengurus. Beliau menggantikan Pastor Antonius Konseng, Pr., M. Sc. yang yang diangkat menjadi Ketua Pengurus Yayasan Salus Infirmorum.

Perjalanan YPR mengalami banyak pasang surut. Terjadi dinamika antara hal-hal yang membanggakan, menguntungkan, dan merusak serta memalukan. Yang masih segar dalam ingatan kita adalah peristiwa demonstrasi dan pemogokan yang dilakukan pada tahun 1996 dan tahun 2006. Namun, syukur kepada Tuhan, masa suram tersebut bisa berlalu dengan baik.

Tahun ini genaplah YPR yang tercinta memasuki usia empat puluh tahun atau pancawindu.

YPR selalu berupaya untuk setiap saat meningkatkan pelayanan pendidikan. Ke depan, YPR akan terus menerus mengupayakan hal-hal sebagai berikut:

a. Rehabilitasi bangunan di berbagai wilayah

b. Penambahan sarana dan prasarana di sekolah-sekolah

c. Pelatihan-pelatihan profesi guru

d. Mengikutsertakan pendidik dan tenaga kependidikan dalam Jamsostek dan Askes

e. Pembenahan manajemen dengan menganut sistem Good Corporate Governance (GCG) dan menempuh Blue Ocean Strategy (BOS)

f. Menyusun Kurikulum Budaya Melayu

YPR berkomitmen untuk selalu meningkatkan mutu profesi pendidik, meningkatkan pelayanan pendidikan, sekaligus ikut berkontribusi dalam pembangunan provinsi Riau melalui pendidikan, mewujudkan Visi Riau sebagai salah satu Sentra Pendidikan yang diperhitungkan.

Apalah tanda batang Cendana

Daunnya rimbun tak akan layu

Dirgahayu Yayasan Prayoga

Berjaya untuk tanah Melayu

DIRGAHAYU YPR!

Kamis, 01 Oktober 2009

MENUMBUHKAN SIKAP BAIK PADA ANAK


I. DISIPLIN

Disiplin mencakup segala sesuatu yang kita lakukan sebagai guru untuk mengajar anak-anak bagaimana membuat keputusan-keputusan secara lebih baik. Disiplin adalah mengajar anak bagaimana membuat pilihan-pilihan yang lebih baik tentang tingkah laku mereka. Disiplin mengajar anak untuk berpikir. Disiplin mengjar anak-anak bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk memilih bagaimana mereka bertindak. Definisi ini sama sekali berbeda dengan pendapat bahwa disipilin itu hukuman. Disiplin berarti mengajarkan pengambilan keputusan.

Disiplin ditanamkan dengan kerja sama, dan bukan kekuasaan. Kalau guru menghendaki siswa menjadi pembuat keputusan yang bertanggung jawab, maka guru harus mengajarkan pengendalian diri kepada mereka. Kalau guru memaksakan kendali, para siswa tidak akan pernah belajar untuk menguasai pengendalian. Mereka tidak mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan menguasai diri. Suatu saat, mereka akan lepas kendali.

II. PUSATKAN PADA TINGKAH LAKU YANG BAIK

  1. Sorotilah tingkah laku yang baik
  1. Gunakan umpan balik positif
  2. Gunakan tingkah laku yang sebaliknya. Pertama, tentukan dulu tingkah laku (buruk) yang perlu dirubah, kemudian tunjukkan tingkah laku yang berlawanan.
  3. Berikan “imbalan”. Selain dengan komentar “hebat! Bagus!”, bisa ditambahkan “Kamu harus bangga pada dirimu sendiri!”
  4. Beri pujian secara spesifik, pujilah tingkah lakunya, bukan orangnya
  5. Gunakan dorongan. Ajaklah siswa untuk berpikir tentang tingkah lakunya dan dorong dia untuk mengambil keputusan yang paling baik. Beri dukungan terhadap cara-cara yang ia gunakan

  1. Jangan pernah memberi “es-krim” gratis

Jangan pernah memberikan “privilese” pada siswa secara cuma-cuma. Amati perilaku baiknya, dan kemudian berikan privilese tersebut

  1. Buatlah komitmen, dan terapkan secara konsisten serta kreatif.

Membuat komitmen membuat anak terlibat dalam pengambilan keputusan, dan mengajarkan anak untuk bertanggung jawab

  1. Bersikap proaktif

Ajak anak berbicara tentang kemungkinan/resiko bila ia terus dengan tingkah lakunya yang kurang baik. Paparkan pilihan-pilihan yang tersedia baginya. Ungkapkan harapan-harapan Anda selaku gurunya.

  1. Memberi Motivasi
    1. Tekankan pada keberhasilan
    2. Tumbuhkan minat pada pelajaran yang anda bawakan
    3. Ciptakan suasana hangat di ruang kelas
    4. Manfaatkan humor

  1. Tumbuhkan harga diri, karena harga diri penentu motivasi

Anak dengan harga diri yang sehat dapat mengendalikan tingkah laku mereka. Mereka yakin tentang keputusan-keputusan mereka. Anak-anak yang percaya diri lebih cenderung menyukai kesuksesan. Mereka merasa nyaman dengan diri mereka. Mereka dapat menerima kritikan yang membangun. Anak yang punya harga diri tidak akan terpengaruh untuk menjadi nakal.

Sebaliknya, anak-anak dengan harga diri yang tidak sehat punya rasa hormat yang rendah terhadap dirinya. Mereka biasanya memiliki kesulitan belajar. Mereka merasa tidak aman. Mereka tidak mempunyai ketekunan. Mereka terlalu peka terhadap apa yang dipikirkan orang lain. Mereka selalu menyalahkan orang lain kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka. Mereka takut gagal, sehingga tidak mau mencoba.

Sebagai guru, Anda juga harus berani tampil apa adanya (manusiawi), serta mendorong siswa-siswi anda untuk menerima diri mereka apa adanya (kekurangan maupun kelebihan).

Ajarkan para siswa Anda untuk menghargai segala sesuatu di sekelilingnya. Ajari alternatif-alternatif pada mereka. Ajari untuk menghadapi kegagalan

III. MEMINIMALKAN SIKAP MENENTANG

Secara umum terdapat 4 watak anak, yakni anak sensitif, anak aktif, anak responsif, dan anak reseptif.

1. Anak sensitif butuh didengar dan dimengerti. Ia membutuhkan empati dan pengakuan. Namun, guru harus menghindarkan diri untuk bersikap sebagai “penolong”. Guru harus menyadarkan bahwa mereka bukanlah satu-satunya orang yang “menderita”. Beri pesan bahwa ia diterima, dan adakalanya beri ruang baginya untuk menenangkan perasaannya.

2. Anak aktif tertarik pada perbuatan, tindakan, dan hasil. Ia memotivasi diri dan kooperatif. Anak seperti ini perlu punya kerangka. Bila tidak, ia akan lepas kendali dan menolak otoritas. Anak perlu tahu apa yang akan dikerjakan, apa rencananya, apa aturannya, dan siapa “bos”nya. Untuk memperkecil penolakan anak aktif, tempatkan ia di barisan paling depan, atau minta dia memimpin sesuatu. Anak aktif butuh banyak pengakuan atas suksesnya, dan maaf atas kesalahannya.

3. Anak Responsif. Anak seperti ini suka bersosialisasi dan terbuka. Ia termotivasi sendiri untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengalami segala sesuatu yang ditawarkan oleh kehidupan. Anak seperti ini tidak terlalu suka pada keteraturan. Ia membutuhkan kebebasan untuk melakukan tindakannya sendiri. Kekacauan merupakan bagian dari proses belajarnya. Anak-anak seperti ini butuh pengalihan perhatian, misalnya dengan mengerjakan sesuatu yang lain, kemudian diarahkan kembali pada tugas utamanya. Atau anak diajak untuk menemukan hal menarik dari apa yang sedang dikerjakannya. Guru harus bisa menciptkan harmoni, kemudian mengundang anak untuk berpartisipasi

4. Anak Reseptif. Anak reseptif lebih memperhatikan aliran kehidupan. Ia ingin tahu apa yang terjadi berikutnya dan perlu tahu apa yang menurut perkiraan akan terjadi. Bila ia mengerti aliran kehidupan ini, ia lebih mudah menjadi bersikap kooperatif.

IV. MENGAPA ANAK MENENTANG?

Anak menentang karena ia merasa tidak didengar atau dipahami. Jadi, sediakan waktu untuk mendengar dan pahami apa yang anda dengarkan. Pahamilah bahwa di balik sikap menentangnya, apa perasaan terluka dan marah. Dengan berusaha mendengar dan memahami, guru tidak perlu membuang waktu dan menguras emosinya untuk marah-marah di kelas.



Disampaikan oleh Agnes Bemoe dalam Diklat Kontrak dan Trainee SMP Santa Maria Pekanbaru, September 2009