Minggu, 10 Januari 2010

MENCARI WAJAH – NYA DALAM KEHENINGAN Sebuah wisata rohani

Tahun ini kami ingin menutup dan mengawali tahun dengan cara lain dari yang biasanya kami lakukan. Kami ingin menyepi ke Rawaseneng, di sebuah biara pertapaan milik OCSO. Sebelumnya kami hendak mampir ke Gua Maria Kerep Ambarawa.
Berangkat tanggal 31 Desember 2009, pas padat-padatnya lalu lintas di semua kota, kami berangkat dengan pesawat dari Pekanbaru ke Jogja. Selain lebih penumpang lebih ramai dari biasanya, serta cuaca yang agak berawan, perjalanan Pekanbaru – Jogjakarta nyaris biasa-biasa saja.
Sampai di Jogja, kami segera ke Jombor untuk mencari bus ke arah Semarang. Tujuan kami adalah Ambarawa. Seperti sudah kami duga, calon penumpang bus meningkat, mungkin sekitar dua kali lipat. Kami sudah cemas tidak bisa mendapatkan bus. Apalagi hari bertambah senja, ditambah lagi perjalanan yang sangat merayap dari Adisucipto sampai Jombor. Untung pihak bus juga menambah armadanya. Sehingga akhirnya kami bisa juga mendapat bus.
Jogja sore itu basah oleh hujan. Di tengah hujan yang tak juga berhenti kami melaju dengan bus ke arah Ambarawa. Sementara itu, di luar hari bertambah gelap.
Sekitar pukul 8 malam kami sampai di Ambarawa. Udara super dingin langsung menyambut kami. Setelah mendapat penginapan, kami segera naik ke Goa Maria Kerep, yang letaknya tidak jauh dari penginapan. Dengan berjalan kaki, kami menempuh jalan kecil menanjak sepanjang kurang lebih satu kilo.
Ternyata sudah banyak orang datang ke Gua Maria. Nampaknya mereka sudah lebih siap daripada kami. Mereka datang dengan membawa tikar, bahkan ada juga yang dengan bantal dan selimut! Rupanya, barang-barang itu sangat berguna, sebab udara dingin di Gua Maria Kerep sangat menusuk tulang. Sambil menunggu waktu untuk misa beberapa peziarah tampak menggelar tikar dan bantal untuk beristirahat.
Setelah meletakkan bunga, memasang lilin dan berdoa Rosario, kami sempatkan berjalan-jalan di areal Gua Maria. Sebelumnya, sempat juga kami membasuh muka dengan air yang mengalir melalui keran-keran di samping Gua Maria. Air yang dingin itu langsung menyegarkan muka kami!
Pertama-tama kami masuk ke sebuah ruangan di belakang Gua Maria. Di ruangan tersebut ditahtakan Hati Yesus yang Maha Kudus dalam sebuah monstran yang besar. Di depannya dinyalakan dua buah lilin yang tidak akan pernah padam. Kami sempatkan berdoa sejenak di depan Sakramen Maha Kudus. Suasana sangat hening saat itu.
Selanjutnya, kami meneruskan berjalan-jalan lagi. Sewaktu berjalan-jalan, kami berpapasan dengan beberapa kelompok orang sedang melakukan Jalan Salib mengelilingi kompleks Gua Maria.
Kami pergi ke tempat yang menunjukkan perahu Nabi Nuh, kemudian juga kami masuk ke sebuah gua yang menggambarkan makam Yesus. Di sana disampirkan sebuah kain kafan putih. Selanjutnya kami mengelilingi taman yang dinamakan Taman Lima Roti dan Dua Ikan. Mungkin karena malam pergantian tahun, malam itu taman itu sangat ramai.
Selanjutnya, kami kembali ke areal Gua Maria. Kami menunggu di aula besar di samping Gua Maria. Lantai yang kami duduki terasa sangat dingin. Biarpun kami sudah melipat badan sedemikian rupa, tetap saja rasa dingin menusuk ke tubuh kami. Wedhang ronde yang tadi sempat kami minum lumayan membantu walaupun tidak lama…
Semakin malam umat yang datang semakin banyak. Tanpa kami sadari, pelataran tempat misa sudah mulai dipenuhi oleh peziarah yang ingin ikut misa…
Sekitar pukul 11 malam Misa dimulai. Umat memadati pelataran di depan Gua Maria. Mereka duduk rapi dalam jalur-jalur yang teratur, walaupun tidak tampak seorang pun mengatur tempat duduk.
Kami sendiri, walaupun sudah lama ngetem di situ, tetap tidak dapat tempat di pelataran, karena tanpa kami sadari, umat sudah menyemut dan mengambil tempat di pelataran. Terpaksa kami duduk di pinggiran pelataran. Tak papalah, salah kami sendiri, kenapa tidak dari tadi-tadi mencari tempat…
Walaupun umat berjubel, tetapi misa berlangsung dengan khusuk dan khidmat. Apalagi misa diiringi dengan lagu-lagu Taize yang dilantunkan dengan lembut. Sulit menuangkannya dengan kata-kata. Suasana malam itu sangat syahdu, lembut, dan khidmat. Secara fisik badan kami lelah dan kami terribly frozen… tapi hati kami rasanya hangat. Rasanya laiiiin sekali berada di bawah kaki Bunda Maria, bersimpuh di ujung jubahnya, sambil memasrahkan apa yang akan terjadi di tahun yang mendatang…
Misa Kudus dilanjutkan dengan adorasi. Setelah adorasi, monstran diletakkan di ruangan tempat pentahtahan Hati Kudus Yesus di belakan Gua Maria, dan umat dipersilahkan melanjutkan dengan doa pribadi.
Sekitar pukul 2 dini hari, kami kembali ke penginapan. Tak terasa, sudah tahun 2010…
Besoknya, kami melanjutkan perjalanan ke Temanggung, tujuan kami adalah Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Dari terminal Ambarawa kami naik bus jurusan Semarang – Jogja. Di Secang kami turun, dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus yang lebih kecil lagi ke arah Maron. Ketika kami menyebutkan tujuan kami, pak Kondekturnya langsung menebak:
“Mau ke Rawaseneng ya Mbak?”
Mungkin memang musim seperti ini banyak yang pergi ke sana.
“Ke tempat pastor-pastor itu kan Mbak?” kata pak Kondektur itu lagi. Kami tertawa saja.
Sampai di pertigaan Maron, kami berhenti dulu dan mencari teh untuk menghangatkan perut kami. Ternyata kebetulan pula ibu pemilik warung itu menggoreng tempe gembus! Hwaduh! Sudah hampir seperempat abad sejak meninggalkan Jogja kami tidak pernah lagi merasakan tempe gembus! Jadilah kami seperti kesetanan melihat makanan tersebut!
Angkutan desa yang membawa kami berhenti di dusun Rawaseneng, yang merupakan perhentian terakhir. Dari situ kami masih harus berjalan kaki lagi, namun tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 m. Ketika sampai di mulut pertapaan, kami harus melapor pada security. Untungnya, urusan lapor-melapor ini tidak terlalu berbelit-belit. Kami hanya disuruh menuliskan nama dan alamat.
Selanjutnya, kami berjalan lagi menuruni jalan untuk sampai di kantor administrasi pertapaan.
Karena sudah pesan tempat sebelumnya, kami tidak banyak mengalami kesulitan. Frater Blasius, OCSO yang selama ini menjadi penghubung kami, menyambut kami dengan ramahnya.
Kami ditunjukkan kamar kami yang luar biasa bersihnya. Kami sampai ternganga melihatnya. Perabotannya sungguh sederhana, terdiri dari dua buah dipan dengan kasur dan seprei putih. Satu buah meja kaju, dua buah kursi kayu, dan satu buah lemari yang juga terbuat dari kayu. Ketika saya mencoba mengangkat kursinya… mak! Bueratnya minta ampun!
Lantainya juga masih lantai ubin, yang kesemuanya beserta dengan perabotannya mengingatkan saya pada rumah masa kecil saya…
Kamar itu memiliki satu jendela besar yang langsung menghadap ke arah kebun belakang. Jadi, begitu jendela dibuka, tampaklah rumput menghampar dengan jajaran bunga kemerahan di sela daun-daun hijau yang segar. Dari situ juga nampak sebuah pohon durian, pohon alpukat dan pohon mangga. Kedua pohon ini kelihatannya sedang berbuah walaupun masih belum masak…
Setelah selesai ternganga-nganga melihat kamar kami, kami segera mandi dan beres-beres, karena jam 10 misa awal tahun akan segera dimulai.
Kami sudah tahu bahwa air di daerah pegunungan pasti dingin. Tapi, tahu ternyata tidak sama dengan merasakannya sendiri! Begitu merasakan guyuran air itu…. Brrrrr!!!!! Kami terkejut setengah mati! Dingiiiiiiiiinnnnnyaaa!!!!
Jam 10 tepat, misa awal tahun dimulai. Tanggal 1 Januari juga merupakan peringatan Santa Perawan Maria Bunda Allah. Misa dilangsungkan di Kapel Santa Maria yang bentuknya sangat unik. Tempat duduk umat dipisahkan dengan tempat duduk para rahib. Dan tempat duduk para rahib ini tidak menghadap ke altar, melainkan menghadap ke sisi kiri untuk lajur di sebelah kanan dan sebaliknya. Jadi, ketika berdoa, atau menyenandungkan kidung, para rahib ini saling berhadapan.
Mereka, para rahib itu, mendapat tempat satu kursi seorang. Uniknya, kursi mereka bisa dilipat, sehingga bila mereka berdiri, mereka melipat kursi mereka ke atas. Demikian juga, bila hendak duduk, mereka menurunkan kursi mereka untuk diduduki. Ketika hendak pulang, saya pernah mencoba menurunkan lipatan kursi ini untuk saya foto… dan ternyata beratnyaaaaa minta ampun! Saya bayangkan betapa kuatnya tangan-tangan para rahib itu karena dalam satu kali ibadat harus beberapa kali mengangkat dan menurunkan lipatan kursi!
Walaupun masih dalam suasana Natal, namun nampaknya kapel kecil ini tidak rame dihiasi dengan pernik-pernik Natal. Hanya ada gua Natal yang diletakkan persis di bawah altar. Jadi seolah-olah altar itulah guanya. Di situlah diletakkan patung Bunda Maria, Santo Yosef, dan tentu saja El Nino di tengah-tengahnya. Selebihnya hiasan kapel itu adalah bunga hidup seperti biasa.
Misa berlangsung dengan sederhana namun khidmat. Walaupun tanpa dirigen, lagu-lagu dinyanyikan bersama dengan padu, dengan iringan organ yang lembut. Sejuk rasanya telinga kami mendengarnya. Umatpun mengikuti misa dengan tekun dan sopan. Tidak ada yang berbicara apalagi main hape! Rasa hormat umat terhadap Allah yang hadir dalam misa kentara sekali di misa hari itu di kapel kecil itu…
Setiap harinya, para rahib mengadakan enam kali ibadat dan satu kali Ekaristi. Untuk hari biasa ibadat akan dimulai pk. 3.30 dini hari dengan Ibadat Bacaan, dilanjutkan Ibadat Pagi pada pk. 6.00. Kemudian pada pukul 08.00 tepat diadakan Ibadat Siang I. Ibadat Siang II mulai pk. 12.00. Pukul 14.30 akan diadakan Ibadat Sore, dan selanjutnya pada pukul 17.30 diadakan Ekaristi. Hari itu akan ditutup dengan Ibadat Penutup pada pukul 19.45.
Untuk hari Minggu atau hari Raya seperti hari itu, biasanya akan diadakan misa pukul 10.00 dan Ibadat Siang I ditiadakan. Sorenya, pukul 17.30 biasanya diadakan Ibadat Sore dan dilanjutkan dengan adorasi.
Ketika kami hendak ke sini, Frater Blasius, OCSO yang kami telepon mewanti-wanti betul bahwa kami harus mengikuti semua ibadat tersebut. Tentu saja kami sangat bersedia mengikuti semua ibadatnya!
Pagi itu selesai misa, kami langsung menikmati snack pagi. Snack pagi itu berupa kue-kue kering buatan Pertapaan Santa Maria yang terkenal enak. Dan, ternyata benar, kue lidah kucing yang saya rasakan, beda sekali rasanya! Kering, renyah, gurih… intinya: lezat!
Snack tersebut ditemani dengan tiga pilihan minuman hangat; kopi, teh, atau susu asli dari sapi-sapi yang dipelihara oleh pertapaan. Wah… sedapnya….!
Selanjutnya setiap pagi pukul 9 dan sore pukul 3 kami boleh menikmati snack. Snacknya berupa kue-kue sederhana yang enak rasanya, seperti unti, tahu goreng, tempe goreng, dan lain-lain yang semua disajikan hangat-hangat. Di tengah udara yang sangat dingin di Rawaseneng seperti itu, rasanya ingin sekali menghabiskan satu nampan tahu goreng…!
Sehabis menghabiskan snack pagi itu, kami sempatkan berjalan-jalan ke kandang sapi, sambil menunggu waktu Ibadat Siang.
Pertapaan ternyata memiliki banyak sekali sapi; jantan, betina, dan juga anak-anak sapi. Dan uniknya, untuk sapi-sapi betina, mereka diberi nama… hahaha… Sayang hari itu kami tidak sempat melihat sapi-sapi yang punya nama ini diperah susunya. Baru keesokan harinya kami sempat nonton bagaimana sapi-sapi itu diperah susunya. Sapi-sapi di sana begitu besar. Mereka nampak kuat dan sehat. Apalagi sapi-sapi jantannya, nampak kekar dan sangar…
Sayangnya, hari itu kami tidak bisa memuaskan keinginan kami untuk berjalan-jalan berkeliling pertapaan. Menjelang sore, setelah Ibadat Sore, cuaca menjadi mendung, dan kabut tebal langsung menutupi kawasan pertapaan, dan kemudian hujan turun. Aduuuh… kecewanya…. Menurut salah seorang pengunjung, sejak minggu terakhir Desember, pertapaan selalu diliputi awan dan kemudian hujan.
Akhirnya, kami menghabiskan waktu yang ada dengan menulis jurnal dan kemudian… curi-curi membayar hutang tidur di antara waktu-waktu ibadat… hehehehe…
Tentu saja, pemandangan alam pegunungan yang sejuk dan segar, lengkap dengan peternakan sapi dan kebun kopi, bukanlah satu-satunya daya tarik Pertapaan Rawaseneng. Yang kami cari, dan kami yakin sebagian besar orang yang datang ke situ cari, adalah keindahan ibadat-ibadat yang dilakukan oleh para rahib, yang selama dua hari itu coba kami ikuti. Sebenarnya sangat sulit menggambarkan setiap detik demi detik yang sangat berharga, ketika kami mulai memasuki kapel kecil yang sederhana namun anggun. Keheningan yang ditawarkan seperti guyuran air hujan di musim kering.
Satu-satunya kemewahan duniawi adalah musik organ yang dimainkan dengan lembuuuuut sekali, berpadu indah dengan suara empuk para rahib. Mazmur-mazmur semua dilagukan, dan dinyanyikan dengan nada-nada yang sangat sederhana. Namun, kesederhanaan itulah yang malahan membuatnya menjadi begitu indah.
Ibadat-ibadat ini sebelumnya selalu diawali dengan dentang lonceng. Bunyi lonceng ini begitu merdu terdengar, seolah-olah suaranya bergema, dipantulkan oleh bukit-bukit di sekeliling pertapaan.
Bunyi lonceng panjang menandakan ibadat tinggal setengah jam lagi. Lonceng panjang ini juga sekalian panggilan untuk pulang, bagi para rahib yang sedang bekerja di luar pertapaan. Dan bunyi lonceng pendek menandakan ibadat akan dimulai sepuluh menit lagi. Bila dentang lonceng sudah berbunyi, maka satu persatu para rahib dengan tertibnya memasuki kapel, kemudian berlutut dan berdoa. Nyaris tak ada suara yang terdengar, kecuali derak lantai kayu bersentuhan dengan sandal-sandal karet para rahib…
Begitu jam di kapel tersebut berdenting, menunjukkan waktu sudah jam 3.30 atau jam 6.00 atau jam-jam ibadat lainnya, langsung saja organis akan memulai mengetuk tuts-tuts organnya. Bila tidak menggunakan organ pun (kelihatannya organ hanya digunakan pada hari besar – penulis), maka salah seorang rahib pasti akan langsung memulai ibadat.
“Ke dalam tanganMu, kuserahkan diriku, ya Tuhan penyelamatku…” Ini adalah larik pertama yang mengawali setiap ibadat.
Semua berlangsung tanpa komando yang menghebohkan. Keheningkan tetap terjaga sampai ibadat selesai. Ketika ibadat selesai, para rahib ini biasanya masih melanjutkan dengan meditasi pribadi, kemudian satu per satu dengan tenang dan tertib meninggalkan kapel.
Umat yang mengikuti misa ataupun ibadat pun jadi ikut-ikutan tertib. Tidak ada yang berani bersuara selama ibadat atau misa berlangsung. Saya sendiri sampai tidak berani menggambil gambar. Rasanya takut sekali merusak keindahan suasana yang begitu hening seperti itu. Selain juga rasanya sayang melewatkan sekian menit waktu ibadat dengan mengambil gambar…
Hari itu, hari Sabtu, diadakan ibadat-ibadat seperti biasanya. Namun, tidak seperti hari-hari yang lainnya, malamnya setelah Ibadat Malam diadakan adorasi. Pada saat adorasi, semua lampu kapel dimatikan. Monstran diletakkan di tengah di antara tiga pasang lilin yang disusun berjenjang, dari pendek ke panjang, sehingga menimbulkan silhouette yang indah. Seperti di Gua Maria Kerep, adorasi dilagukan dalam bahasa Latin.
Salah satu yang sangat menyentuh buat saya, adalah ketika pada hari Sabtu malam itu, setelah Ibadat Penutup dan adorasi, para rahib keluar dari kapel dengan sebelumnya menerima percikan air suci. Ternyata, umat pun diperkenankan maju untuk menerima percikan air suci… Wah… sulit rasanya menggambarkan apa yang saya rasakan. Rasanya seolah-olah Tangan Tuhan sendiri tengah menyentuh saya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang… Rasanya damaiiiiii sekali…
Yang juga sangat menyenangkan di Rawaseneng adalah keakraban yang timbul bersama tamu-tamu lain yang datang. Sejak kami pertama datang, kami merasa sambutan sesama pengunjung luar biasa ramahnya! Bila berpapasan, tidak ada dagu yang terangkat tinggi atau muka yang berpaling dengan wajah dingin. Semua saling berhenti sejenak, memberi jalan, dan menanyakan kabar. Karena hari itu adalah suasana Natal dan Tahun Baru, maka ucapan “Selamat Natal dan Tahun Baru” ramai terdengar. Ini beda sekali dengan suasana bila kita menginap di hotel atau tempat penginapan lainnya.
Di sela-sela waktu makan, kami pun bertukar cerita. Pengunjung rata-rata berasal dari pulau Jawa, entah Jakarta, Jawa Barat, ataupun Jawa Timur. Pada saat itu, kamilah pengunjung terjauh, yakni dari Pekanbaru, Riau. Mereka pun datang dengan berbagai alasan, ada yang bersyukur untuk ulang tahun perkawinan, ada yang memang ingin memperkenalkan cara hidup sederhana pada anak-anak mereka, dan ada juga sudah menjadi rutinitas, setiap Natal merayakannya di Rawaseneng. Omong-omong tentang merayakan Natal di Rawaseneng, menurut seorang pengunjung, untuk Natal tahun 2010 Rawaseneng sudah fully booked! Beliau saja yang pengunjung tetap, harus masuk daftar tunggu… Hwaduh!
Hari Minggu, tanggal 3 Januari 2010, kami harus mengakhiri “retret” kami di Rawaseneng. Sungguh dua hari yang sangat berharga, tidak hanya secara fisik saja, tetapi terlebih untuk bathin kami. Secara fisik, harus saya akui, saya yang biasanya susah makan, jadi sering krucuk-krucuk di situ. Padahal makanan yang disajikan “hanyalah” tumis-tumisan, seperti tumis pepaya muda, atau tumis kacang panjang dengan telur dadar, misalnya. Namun, porsi makan saya meningkat tiga kali lipat… hahahaha….
Secara rohani, tentu sulit saya mengukurnya, namun saya berharap, semoga Tangan Tuhan menyembuhkan kelemahan-kelemahan saya dan menuntun saya dan keluarga dalam menjalani kehidupan. Amin!
Kami berpamitan, pada teman-teman yang masih tinggal, dan juga pada Frater Blasius, OCSO. Dan… psst… kami malah dibawakan oleh-oleh berupa dua kaleng kue kering; kue coklat dan kestengels! Horeee!!!
Selamat tinggal Rawaseneng, semoga suatu saat bisa bertemu lagi! Berkah Dalem!

Pekanbaru, 4 Januari 2010
Agnes Bemoe & Ch. Mulyani