Selasa, 27 Oktober 2009

KEPEMIMPINAN YANG UPTODATE

KEPEMIMPINAN SEKOLAH SELAMA INI
Dengan segala hormat terhadap beberapa sekolah yang telah berupaya keras dalam mengembangkan institusinya, harus diakui dengan besar hati, bahwa beberapa sekolah lainnya masih lambat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan terkini, baik dalam hal kepemimpinan, manajemen, ataupun dalam hal isu-isu kependidikan sendiri, yang seharusnya menjadi keahlian sebuah institusi pendidikan.
Pada saat dunia dan institusi-institusi lainnya telah berkembang dan matang dengan suatu perkembangan baru, masih ada saja sekolah yang baru tahu atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang isu tersebut. Contohnya dalam hal manajemen dan kepemimpinan. Masih banyak sekolah yang menerapkan pola kepemimpinan/manajemen lama, seperti terpusatnya kepemimpinan pada sosok kepala sekolah. Tidak ada pengorganisasian, tidak ada pendelegasian, tidak ada diskusi untuk membicarakan sesuatu. Kepala sekolah mengatur semua urusan, dari hulu ke hilir. Dan yang lebih memprihatinkan, masih ada saja sekolah yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki visi tentang kependidikan.
Pada beberapa sekolah, terjadi bahwa penunjukkan kepala sekolah dilakukan oleh institusi di atasnya, misalnya yayasan. Beberapa pertimbangan pragmatis, seperti pengamanan kepentingan orang-orang di dalam yayasan menjadi pertimbangan penunjukkan kepala sekolah. Dampaknya, tujuan utama yakni pendidikan seringkali diturunkan prioritasnya di bawah tujuan mengamankan kepentingan seseorang ataupun sekelompok orang. Untuk kepentingan sesaat dan sangat pragmatis itu, tidak jarang ditunjuk orang-orang yang tidak punya visi kependidikan.
Dengan tidak dimilikinya visi kependidikan ini, orientasi pengembangan sekolah tidaklah diletakkan pada esensi pendidikan, melainkan lebih ke kosmetika-kosmetika pendidikan. Kepala sekolah lebih getol membentuk kelompok-kelompok ilmiah, untuk persiapan olimpiade ini itu, ketimbang menyediakan sarana, waktu dan perhatian untuk kegiatan-kegiatan yang bisa membina lebih banyak anak, misalnya olah raga atau seni. Kepala sekolah juga lebih suka membangun taman, misalnya, daripada membeli buku untuk kekayaan perpustakaan. Membangun taman diangap lebih memberikan daya jual bagi sekolah daripada membeli buku yang malah dianggap pemborosan.
Karena kurangnya visi kependidikan ini jugalah, yang kemudian membuat cara pandang terhadap guru dan murid menjadi jauh berbeda. Guru bukanlah dijadikan aset sekolah, sebagai ujung tombak untuk tercapainya tujuan pendidikan. Guru diturunkan derajatnya hanya menjadi pekerja-pekerja di sekolah itu. Sebagai pekerja, guru dianggap sudah diberi gaji, oleh karenanya guru harus bekerja sesuai dengan tuntutan kepala sekolah. Guru, dalam kacamata seorang kepala sekolah yang tidak punya visi, tidak lebih adalah orang bayaran.
Tidak jarang, kita temukan, kepala-kepala sekolah yang enggan mengirimkan gurunya untuk pelatihan, karena pelatihan-pelatihan semacam itu dianggap hanya menghabiskan biaya. Kalaupun guru mau ikut pelatihan tersebut, guru harus menggunakan biaya pribadi.
Karena menganggap guru adalah orang bayaran, kepala sekolah tidak segan-segan mendamprat, mencaci, bahkan menghina guru yang dianggapnya tidak bekerja sesuai dengan perintahnya. Tidak jarang, perbuatan-perbuatan yang jauh dari pantas ini dilakukan di depan orang lain, entah guru lain, orang tua murid, atau bahkan anak murid sendiri, yang mana lebih menambah luka hati seorang guru. Ini karena kepala sekolah yakin para guru itu derajatnya jauh di bawahnya. Dan karena kepala sekolah merasa diri sebagai penguasa yang berhak melakukan apa saja terhadap para bawahannya.
Kepala-kepala sekolah yang tidak memiliki visi kependidikan cenderung bekerja untuk kepentingan pribadi/prestise pribadi daripada kebaikan sekolah/yayasan. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah apakah kepentingannya sudah terpenuhi, tidak perduli apakah kepentingan itu bermanfaat untuk pendidikan di sekolah atau tidak. Ini persis seperti yang diungkapkan oleh Ken Blanchard dan Phil Hodges dalam buku mereka “Lead Like Jesus”, yakni “Hati yang didorong oleh kepentingan sendiri melihat dunia dengan membawa keyakinan “memberi sedikit, mengambil banyak”. Orang dengan hati yang didorong oleh kepentingan diri sendiri menempatkan agenda, keamanan, status dan kepuasan diri sendiri lebih tinggi dari pada urusan oran yang terkena akibat dari pikiran dan tindakan mereka.” (Lead Like Jesus, P. 51)
Mereka juga biasanya tidak punya inisiatif. Inisiatif lebih sering datang dari otorita yang lebih atas lagi. Kepala sekolah seperti ini sebenarnya tidak lebih pekerja bagi otorita yang lebih di atasnya, walaupun kemudian berlagak sebagai penguasa tunggal di sekolahnya. Kepala sekolah tidak berani mengambil resiko atas inisiatif yang diambilnya, oleh karenanya lebih baik tidak berinisiatif. Bila muncul tantangan atas inisiatif itu, dengan mudahnya kepala sekolah dapat mengatakan bahwa itu sudah menjadi keputusan yayasan/ataupun otoritas lain di atasnya.
Hakekat kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Namun pada kepala sekolah yang tidak memiliki keutamaan ini, kesempatan sebagai kepala sekolah dianggap sebagai sebuah legitimasi untuk menguasai orang-orang di bawahnya. Kepala sekolah dianggap sebagai penguasaan. Implikasinya unsur mengontrol sangat kuat, lebih kuat daripada unsur membina. Seorang pemimpin sejati memandang kekurangan bawahannya sebagai bagian dari kekuarangannya sendiri, dan secara bijaksana mengajak bawahannya untuk memperbaiki diri. Seorang pemimpin sejati memiliki kewibawaan untuk melakukan itu. Tetapi kepala sekolah yang berlaku sebagai penguasa lebih senang berlaku sebagai polisi: getol mencari/mencatat sampai sedetil-detilnya kesalahan/kekurangan bawahan. Lebih senang mendapati anak buahnya dalam keadaan bersalah, lebih puas kalau bisa menangkap basah, daripada berupaya menciptakan atmosfer yang kondusif bagi anak buahnya untuk bekerja. Tidak jarang, kepala sekolah seperti ini tega memasang beberapa guru sebagai “telik sandi” untuk mengawasi sesama rekannya, dan menerima informasi-informasi dari “mata-matanya” ini. Kepala sekolah tidak peduli, bahwa hal itu menimbulkan perpecahan dan ketidakpercayaan di antara sesama rekan kerja. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah ia bisa mengontrol bawahanya, dia tidak perduli pada rusaknya atmosfer kerja yang kondusif.
Kepala sekolah seperti ini juga tidak memiliki dan tidak peduli pada ketrampilan-ketrampilan manajerial, tidak punya kemampuan mendelegasi, karena mereka tidak percaya anak buahnya bisa melaksanakan kerjanya. Setiap langkah anak buahnya akan dipantaunya, untuk memastikan apakah perintahnya telah dijalankan. Parahnya lagi, kepala sekolah seperti ini hanya bisa menyuruh, dan memberi tuntutan bahwa suruhannya terlaksana dengan baik. Jarang sekali mereka sendiri bisa melakukannya dengan baik atau bahkan lebih baik. Sama juga jarangnya dengan mereka tampil sebagai orang yang bisa diajak berdiskusi untuk membicarakan sesuatu. Mereka takut kewibawaan mereka berkurang kalau mengajak diskusi para stafnya.
Mereka sangat peka terhadap wilayah kekuasaannya. Mereka ketakutan kekuasaannya berkurang kalau mereka mendelegasikan pekerjaan kepada para stafnya. Dalam pandangan mereka, kekuasaan harus mutlak di tangan mereka. Semua keputusan, sampai pada hal-hal teknis yang sangat remeh temeh pun harus keluar dari mulut mereka. Tidak segan keluar dari mulut mereka: “Saya kepala sekolah di sini, bukan Pak A atau Bu B. Sayalah yang mengambil keputusan.”
Mereka suka menjilat ke atas dan menekan ke bawah. Memberi gambaran begitu bagusnya kepada atasannya untuk menyenangkan hati atasan, dan untuk mempertahankan posisi. Padahal di saat yang sama menginjak dan menindas orang-orang yang dianggap bawahannya. Atasan yang cerdas biasanya tidak mudah dikelabuhi seperti ini. Namun demikian, tidak jarang, bahwa atasan kepala sekolah terdiri dari orang-orang yang lebih suka dijilat, dan menerima lapora ABS, daripada mengecek langsung ke lapangan.
Dalam hal keuangan, sekolah dijalankan seperti menjalankan toko, orientasi pada jumlah uang yang masuk, semua pengeluaran yang tidak langsung menghasilkan laba, akan dianggap sebagai expense. Tidak jarang kita temukan kenyataan bahwa kegiatan bina iman, rekoleksi, atau retret di sekolah katolik, malah dianggap menghabiskan dan menghambur-hamburkan biaya. Sama juga nasibnya dengan kegiatan pembinaan guru, ataupun pembelian buku-buku pustaka.

TANTANGAN KEPEMIMPINAN KINI
Pola kepemimpinan seperti yag disebutkan di atas sudah tidak cocok lagi jaman sekarang ini. Ini karena ada beberapa perkembangan dalam dunia pendidikan yang membutuhkan reaksi yang tepat dan cerdas dari pala pelaku pendidikan.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa memimpin sebuah institusi pendidikan katolik membutuhkan tanggung jawab lebih. Ini karena diyakini bahwa institusi pendidikan ini adalah juga perpanjangan tangan Tuhan untuk menyampaikan kabar baikNya kepada umat manusia. Kalimat ini tidak boleh berhenti sebagai jargon saja, tetapi harus dihayati oleh setiap pemimpin. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh gereja makro harus juga dihayati sebagai tantangan bagi institusi pendidikan katolik.
Selain itu, akhir-akhir ini kita juga diingatkan, secara khusus oleh Steven R. Covey dalam bukunya “The 8th Habit” bahwa dunia tanpa kita sadari mempunyai kecenderungan untuk berubah. Zaman manusia dengan para pekerja pengetahuannya sudah mulai ditinggalkan. Di masa mendatang, manusia-manusia yang bijaksanalah yang survive. Kita sedang memasuki abad kebijaksanaan. Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnyalah menjadi yang pertama dalam menyadari hal ini. Kepala sekolah sebagai pimpinannya seharusnya menjadi motor penggeraknya.
Di Indonesia sendiri, dunia pendidikan baru-baru ini disentakkan dengan disahkan UU BHP. Terlepas dari kontroversinya, mau tidak mau UU yang sudah disahkan ini harus dijalankan. Ini merupakan sebuah tantangan yang tidak ringan bagi institusi pendidikan.

KEPEMIMPINAN YANG SESUAI
Supaya tidak lagi menjadi institusi yang selalu ketinggalan dalam menghadapi isu-isu dan perubahan-perubahan terkini, maka sekolah membutuhkan kepala sekolah yang benar-benar memiliki visi kependidikan. Kepala sekolah yang memahami benar tentang pendididkan, memiliki gambaran yang benar untuk mengarahkan dan mengelola sekolahnya sehingga benar-bebar menjadi tempat pendidikan. Kepala sekolah yang mencurahkan seluruh energinya untuk mewujudkan gambaran tersebut.
Dalam institusi pendidikan katolik, referensi kepemimpinan seharusnyalah pada Sang Teladan Utama, Yesus. Dalam “Lead like Jesus” Ken Blanchard dan Phil Hodges kembali menegaskan bahwa pemimpin yang baik adalah yang melayani dan bukan minta dilayani. Kalimat ini sudah sering kali kita baca melalui Kita Suci. Namun, tidak dapat dipungkiri, relevansinya masih tak tertandingi. Pemimpin yang melayani diri sendiri bereaksi terhadap segala hal yang terjadi pada mereka. Jika Anda berkata sesuatu kepada mereka atau melakukan sesuatu yang menyinggung kesombongan atau ketakutan mereka, mereka memberikan reaksi. Mereka tidak banyak berpikir tentang atau mempertimbangkan kepentingan terbaik dari orang lain atau hubungan mereka. Mereka melihat sesuatu dari posisi mereka sendiri dan kadang-kadang membayangkan diri mereka pada posisi orang lain. Orang yang sombong atau penuh rasa takut cepat melakukan penlaian, cepat melakukan serangan, dan cepat menarik tanggung jawab atas kesalahan dan lamban memuji. Pemimpin sebagai pelayan, sebaliknya, merespons terhadap segala sesuatu yang terjadi terhadap mereka. Sebelum bertindak, mereka selalu mengambil langkah mundur, bahkan satu atau dua langakah, dari emosi sesaat dan menerapkan nilai tertentu untuk mengecek situasi yang tidak sesuai dengan keingan untuk melayani kepentingan umum. Mereka cepat mendengarkan, lamban menilai, lamban marah, dan cepat berbalik memuji orang lain.
Ken Blanchard juga mengingatkan bahwa keutamaan pemimpin ada dalam kematangan karakter personalnya. Sama seperti Yesus yang memulai karyanya dengan menempa dirinya sendiri, sebelum memilih murid-muridnya. Dengan itu, seorang pemimpin diharapkan bisa menjadi pemimpin yang personal transformasional (p. 26). Selanjutnya, Ken Blanchard dan Phil Hodges mengusulkan empat hal yang harus dikembangkan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, yakni memimpin dengan hati, kepala, tangan, dan kebiasaan (P.40)
Selain itu buku “The 8th Habit” yang ditulis oleh Steven R. Covey, mengingatkan bahwa ada perubahan yang mau tidak mau harus diakui sedang terjadi. Yakni perubahan menuju abad kebijaksanaan. Seorang pemimpin menurut Covey, tidak harus seseorang yang menjadi atasan di suatu institusi. Siapa saja dalam dalam institusi itu bisa mengembangkan kemampuan kepemimpinannya. Semua orang diajak untuk menemukan suara hatinya sebagai sebuah anugerah dan kemudian mengilhami orang lain untuk menemukan suara hati mereka. Inilah yang menurut Covey, tantangan paling berat bagi seorang pemimpin.
Dan, tantangan terbaru yang harus dihadapi oleh institusi-institusi pendidikan di Indoensia adalah dengan terbitnya UU BHP. UU ini secara drastis telah merubah konfigurasi pengelolaan/kepemimpinan di yayasan dan kemudian sekolah. Dengan adanya UU ini, kepala sekolah harus benar-benar menjadi institusi yang otonom dan mandiri. Bila sebelumnya, kepala sekolah hanya menjadi pelaksana dari kebijakan dan keputusan yayasan, maka kini, kepala sekolah harus mengambil alih semua pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh yayasan. Sekolah-sekolah yang telah membiasakan diri dengan atmosfer yang efektif yang diciptakan bersama antara pimpinan dan seluruh karyawannya tidak akan terlalu kesulitan menghadapinya.

PENUTUP
Perkembangan dalam dunia pendidikan berlangsung begitu cepat, sejalan juga dengan perkembangan yang terjadi pada dunia pada umumnya. Penyintas bagi perubahan-perubahan ini adalah mereka-mereka yang mampu beradaptasi secara cerdas, bukan hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk suatu kepentingan yang jauh lebih panjang. Bahkan untuk kepentingan terlaksananya karya Allah di tengah dunia.
Sosok strategis dalam menyikapi perubahan-perubahan ini adalah kepala sekolah. Oleh karenanya, sudah saatnya kepala sekolah dikondisikan menjadi motor penggerak, untuk mencapai visi dan misi pendidikan di sekolah. Sudah saatnya kepala sekolah menjadi orang yang paling up-to-date di institusinya. (db)

Pekanbaru, 25 Mei 2009
Agnes Bemoe

Dimuat di EDUCARE Oktober 2009

Senin, 05 Oktober 2009

SEJARAH SINGKAT YAYASAN PRAYOGA RIAU

Sejarah karya pendidikan katolik di Propinsi Riau terbagi menjadi tiga periode yaitu: Masa Misi, Masa Yayasan Prayoga Perwakilan Riau (YPPR), dan Masa Yayasan Prayoga Riau (YPR).

I. MASA MISI

Pendidikan Katolik pertama kali dicanangkan oleh para misionaris Kapusin dan beberapa suster Kongregasi Kasih Yesus dan Maria (KYM) dengan kedatangan mereka di kota Bagansiapiapi pada tahun 1928. Mereka membuka sekolah yang diberi nama Hai Ching School (HCS) dengan jumlah murid 27 orang. Pada tahun yang sama, tidak lama setelah membuka sekolah di Bagansiapiapi, para misionaris dari Belanda juga merintis sekolah-sekolah di Selatpanjang. Sekolah yang didirikan pertama kali adalah sebuah Taman Kanak-Kanak.

Dalam perkembangannya, pada tahun 1942, ketika Jepang menjajah Indonesia, para pastor dan suster Belanda ini diusir dan diasingkan, sehingga sekolah HCS di Bagansiapiapi pun ditutup. Untungnya, seorang awam katolik bernama Kho Hok Yan dengan berani tetap membuka sekolah dengan bendera “sekolah katolik”. Tahun 1949 para pastor Belanda tadi diperbolehkan kembali ke Bagansiapiapi dan mereka membuka kembali sekolah RK Hai Ching School. Waktu itu jumlah siswa sudah semakin banyak, yaitu 150 orang. Sementara itu di Selatpanjang pada tahun 1962 Pastor Bergamin, S.X. dan Pastor Laurentius, S. X. mulai membangun SMP dengan nama “Yos Sudarso”.

Selanjutnya, pada tahun 1953 didirikan sebuah sekolah TK di Pekanbaru, di daerah yang saat itu bernama Jalan Raya Bangkinang atau Batu Satu. Sekarang, daerah inilah yang dikenal sebagai jalan Ahmad Yani, tempat berdirinya SD Santa Maria 1. Yang merintis pembangunan sekolah-sekolah ini adalah para pastor Xaverian, yakni Pastor R. Danielli, S. X. dan Pastor Nardello, S. X. Awalnya, mereka mendirikan gedung gereja dan pastoran. Di dekat pastoran tersebut dibangunlah TK Santa Maria, sebagai cikal bakal sekolah-sekolah di Pekanbaru. Pada 1956 SD Santa Maria dibangun, dilanjutkan dengan SMP Santa Maria pada tahun 1961 dan tahun 1972 SMA Santa Maria Pekanbaru.

Upaya para misionaris untuk memajukan pendidikan di Riau tidak hanya terbatas di daerah-daerah pesisir yang saat itu relatif lebih mudah dijangkau. Tahun 1960 mereka mulai masuk ke daerah pedalaman, yakni ke Duri dan Airmolek. Pada tahun 1960 dibangun sebuah SD dan SMP di daerah Sebanga, Duri, yang saat itu masih berupa hutan. Mula-mula sekolah ini dibagun untuk keperluan pendidikan anak-anak karyawan PT Caltex Pacific Indonesia (PT CPI), namun dalam perjalanannya sekolah-sekolah ini juga diminati oleh masyarakat di luar PT CPI.

Di Airmolek sekolah mulai dibuka pada tahun 1961 yakni dengan didirikannya sebuah Taman Kanak-Kanak. Pada mulanya sekolah ini menempati sebuah rumah kosong milik seorang karyawan di Stanvac bernama Bollier. Dalam perkembangannya pada tahun 1968 didirikan gedung sekolah dengan delapan ruang kelas dan satu ruang kantor di atas tanah dan perkebunan yang dihibahkan oleh Bapak Bollier.

II. MASA YAYASAN PRAYOGA PERWAKILAN RIAU (YPPR)

Sekolah-sekolah yang didirikan olah para misionaris itu kemudian diserahkan kepada Keuskupan Padang untuk pengelolaan lebih lanjut. Yang mengelolanya adalah Yayasan Prayoga. Untuk sekolah-sekolah di daerah Riau disebut sebagai Yayasan Prayoga Perwakilan Riau.

Perkembangan Yayasan Prayoga Perwakilan Riau (YPPR) tidak bisa dilepaskan dari peran besar Pastor Adolfo La Ruffa, S.X., selaku Ketua YPPR. Pada masa kepemimpinannya, sekolah-sekolah yang telah dirintis oleh para misionaris semakin dikembangkan. Perluasan, pembangunan gedung, serta penambahan fasilitas dilakukan terus menerus. Tahun 1969 mulai dibangun SD Santa Maria 2 Pekanbaru. Tahun 1970, TK dan SD Santa Theresia Airmolek juga dibangun. Selanjutnya pada periode 1974 – 1979 dibangun dan dilengkapilah sekolah-sekolah di Duri, Dumai, Bagansiapiapi, Selatpanjang, dan Pekanbaru.

Tidak hanya pembangunan fisik saja yang diutamakan oleh YPPR, mutu dan kesejahteraan guru pun diperhatikan. Guru dan karyawan diikutsertakan dalam program Yadapen. Pada masa ini juga mulai diberlakukan penghapusan uang sekolah untuk anak karyawan.

Peraturan-peraturan yayasan pun mulai ditata menjadi lebih baik dan kemudian dilegalkan.

Pada waktu itu YPPR sudah dibagi menjadi beberapa wilayah/koordinatorat, yaitu:

a. Duri – Dumai – Bagansiapiapi

b. Airmolek

c. Pekanbaru

d. Selatpanjang

Ketua YPPR yang pertama adalah Pastor Adolfo La Ruffa, S. X. dilanjutkan oleh Pastor Arnoldi, S. X., Pastor dr. Yohanes Halim, Pr., kemudian Pastor Antonius Konseng, Pr., M. Sc.

III. MASA YAYASAN PRAYOGA RIAU (YPR)

Perkembangan sekolah/pendidikan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Tahun 2001 muncul Undang-Undang Yayasan yang berimplikasi pada pemisahan karya kependidikan dan kesehatan di Yayasan Prayoga. Oleh karenanya, tahun 2002 YPPR berubah menjadi Yayasan Prayoga Riau (YPR) dan secara khusus mengelola bidang pendidikan. Mulai tahun itu juga YPR menjadi sebuah lembaga otonom yang terpisah dari Yayasan Prayoga yang berkedudukan di Padang.

Sejak berdirinya YPR, semakin banyak perhatian yang diberikan oleh Pengurus Yayasan baik kepada siswa, maupun pada pendidik dan tenaga kependidikan. Rehabilitasi dan renovasi diadakan dimana-mana: penambahan fasilitas untuk siswa seperti laboratorium IPA dan Bahasa, buku-buku perpustakaan, serta alat-alat multimedia; pelatihan-pelatihan untuk para guru. Dalam bidang kesejahteraan, pendidik dan tenaga kependidikan diikutsertakan dalam Jamsostek dan Askes, selain dari Yadapen yang sudah sejak lama diikuti. Koordinatorat yang semula terdiri dari empat wilayah berkembang menjadi tujuh koordinatorat. Koordinatorat-koordinatorat tersebut adalah:

a. Pekanbaru: meliputi wilayah kota Pekanbaru

b. Airmolek: meliputi wilayah kabupaten Indragiri Hulu

c. Duri: meliputi wilayah kecamatan Mandau, Tanah Putih, dan Simpang Bangko

d. Dumai: meliputi wilayah kota Dumai dan Pulau Rupat.

e. Selatpanjang: meliputi wilayah kecamatan Tebing Tinggi, Pulau Sungai Dua dan Kudap.

f. Bagansiapiapi: meliputi wilayah Bagansiapiapi

g. Baganbatu: meliputi wilayah Baganbatu dan Balam

Saat ini YPR mengelola 33 sekolah mulai dari Play Group sampai dengan SMA yang terdiri dari 1 buah Play Group, 7 Taman Kanak-kanak, 15 Sekolah Dasar, 7 Sekolah Menengah Pertama, dan 4 Sekolah Menengah Atas. Sekolah-sekolah tersebut tersebar di 7 koordinatorat, baik yang terdapat di daratan Sumatera maupun yang berada di daerah kepulauan, seperti Pulau Tebing Tinggi, Pulau Bengkalis, Pulau Rupat, dan Pulau Padang. Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang berkarya di YPR berjumlah 614 orang. Siswa yang bersekolah sebanyak 13.310 orang.

Saat ini YPR dipimpin oleh Ir. Frans S. Sembiring sebagai Ketua Pengurus. Beliau menggantikan Pastor Antonius Konseng, Pr., M. Sc. yang yang diangkat menjadi Ketua Pengurus Yayasan Salus Infirmorum.

Perjalanan YPR mengalami banyak pasang surut. Terjadi dinamika antara hal-hal yang membanggakan, menguntungkan, dan merusak serta memalukan. Yang masih segar dalam ingatan kita adalah peristiwa demonstrasi dan pemogokan yang dilakukan pada tahun 1996 dan tahun 2006. Namun, syukur kepada Tuhan, masa suram tersebut bisa berlalu dengan baik.

Tahun ini genaplah YPR yang tercinta memasuki usia empat puluh tahun atau pancawindu.

YPR selalu berupaya untuk setiap saat meningkatkan pelayanan pendidikan. Ke depan, YPR akan terus menerus mengupayakan hal-hal sebagai berikut:

a. Rehabilitasi bangunan di berbagai wilayah

b. Penambahan sarana dan prasarana di sekolah-sekolah

c. Pelatihan-pelatihan profesi guru

d. Mengikutsertakan pendidik dan tenaga kependidikan dalam Jamsostek dan Askes

e. Pembenahan manajemen dengan menganut sistem Good Corporate Governance (GCG) dan menempuh Blue Ocean Strategy (BOS)

f. Menyusun Kurikulum Budaya Melayu

YPR berkomitmen untuk selalu meningkatkan mutu profesi pendidik, meningkatkan pelayanan pendidikan, sekaligus ikut berkontribusi dalam pembangunan provinsi Riau melalui pendidikan, mewujudkan Visi Riau sebagai salah satu Sentra Pendidikan yang diperhitungkan.

Apalah tanda batang Cendana

Daunnya rimbun tak akan layu

Dirgahayu Yayasan Prayoga

Berjaya untuk tanah Melayu

DIRGAHAYU YPR!

Kamis, 01 Oktober 2009

MENUMBUHKAN SIKAP BAIK PADA ANAK


I. DISIPLIN

Disiplin mencakup segala sesuatu yang kita lakukan sebagai guru untuk mengajar anak-anak bagaimana membuat keputusan-keputusan secara lebih baik. Disiplin adalah mengajar anak bagaimana membuat pilihan-pilihan yang lebih baik tentang tingkah laku mereka. Disiplin mengajar anak untuk berpikir. Disiplin mengjar anak-anak bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk memilih bagaimana mereka bertindak. Definisi ini sama sekali berbeda dengan pendapat bahwa disipilin itu hukuman. Disiplin berarti mengajarkan pengambilan keputusan.

Disiplin ditanamkan dengan kerja sama, dan bukan kekuasaan. Kalau guru menghendaki siswa menjadi pembuat keputusan yang bertanggung jawab, maka guru harus mengajarkan pengendalian diri kepada mereka. Kalau guru memaksakan kendali, para siswa tidak akan pernah belajar untuk menguasai pengendalian. Mereka tidak mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan menguasai diri. Suatu saat, mereka akan lepas kendali.

II. PUSATKAN PADA TINGKAH LAKU YANG BAIK

  1. Sorotilah tingkah laku yang baik
  1. Gunakan umpan balik positif
  2. Gunakan tingkah laku yang sebaliknya. Pertama, tentukan dulu tingkah laku (buruk) yang perlu dirubah, kemudian tunjukkan tingkah laku yang berlawanan.
  3. Berikan “imbalan”. Selain dengan komentar “hebat! Bagus!”, bisa ditambahkan “Kamu harus bangga pada dirimu sendiri!”
  4. Beri pujian secara spesifik, pujilah tingkah lakunya, bukan orangnya
  5. Gunakan dorongan. Ajaklah siswa untuk berpikir tentang tingkah lakunya dan dorong dia untuk mengambil keputusan yang paling baik. Beri dukungan terhadap cara-cara yang ia gunakan

  1. Jangan pernah memberi “es-krim” gratis

Jangan pernah memberikan “privilese” pada siswa secara cuma-cuma. Amati perilaku baiknya, dan kemudian berikan privilese tersebut

  1. Buatlah komitmen, dan terapkan secara konsisten serta kreatif.

Membuat komitmen membuat anak terlibat dalam pengambilan keputusan, dan mengajarkan anak untuk bertanggung jawab

  1. Bersikap proaktif

Ajak anak berbicara tentang kemungkinan/resiko bila ia terus dengan tingkah lakunya yang kurang baik. Paparkan pilihan-pilihan yang tersedia baginya. Ungkapkan harapan-harapan Anda selaku gurunya.

  1. Memberi Motivasi
    1. Tekankan pada keberhasilan
    2. Tumbuhkan minat pada pelajaran yang anda bawakan
    3. Ciptakan suasana hangat di ruang kelas
    4. Manfaatkan humor

  1. Tumbuhkan harga diri, karena harga diri penentu motivasi

Anak dengan harga diri yang sehat dapat mengendalikan tingkah laku mereka. Mereka yakin tentang keputusan-keputusan mereka. Anak-anak yang percaya diri lebih cenderung menyukai kesuksesan. Mereka merasa nyaman dengan diri mereka. Mereka dapat menerima kritikan yang membangun. Anak yang punya harga diri tidak akan terpengaruh untuk menjadi nakal.

Sebaliknya, anak-anak dengan harga diri yang tidak sehat punya rasa hormat yang rendah terhadap dirinya. Mereka biasanya memiliki kesulitan belajar. Mereka merasa tidak aman. Mereka tidak mempunyai ketekunan. Mereka terlalu peka terhadap apa yang dipikirkan orang lain. Mereka selalu menyalahkan orang lain kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka. Mereka takut gagal, sehingga tidak mau mencoba.

Sebagai guru, Anda juga harus berani tampil apa adanya (manusiawi), serta mendorong siswa-siswi anda untuk menerima diri mereka apa adanya (kekurangan maupun kelebihan).

Ajarkan para siswa Anda untuk menghargai segala sesuatu di sekelilingnya. Ajari alternatif-alternatif pada mereka. Ajari untuk menghadapi kegagalan

III. MEMINIMALKAN SIKAP MENENTANG

Secara umum terdapat 4 watak anak, yakni anak sensitif, anak aktif, anak responsif, dan anak reseptif.

1. Anak sensitif butuh didengar dan dimengerti. Ia membutuhkan empati dan pengakuan. Namun, guru harus menghindarkan diri untuk bersikap sebagai “penolong”. Guru harus menyadarkan bahwa mereka bukanlah satu-satunya orang yang “menderita”. Beri pesan bahwa ia diterima, dan adakalanya beri ruang baginya untuk menenangkan perasaannya.

2. Anak aktif tertarik pada perbuatan, tindakan, dan hasil. Ia memotivasi diri dan kooperatif. Anak seperti ini perlu punya kerangka. Bila tidak, ia akan lepas kendali dan menolak otoritas. Anak perlu tahu apa yang akan dikerjakan, apa rencananya, apa aturannya, dan siapa “bos”nya. Untuk memperkecil penolakan anak aktif, tempatkan ia di barisan paling depan, atau minta dia memimpin sesuatu. Anak aktif butuh banyak pengakuan atas suksesnya, dan maaf atas kesalahannya.

3. Anak Responsif. Anak seperti ini suka bersosialisasi dan terbuka. Ia termotivasi sendiri untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengalami segala sesuatu yang ditawarkan oleh kehidupan. Anak seperti ini tidak terlalu suka pada keteraturan. Ia membutuhkan kebebasan untuk melakukan tindakannya sendiri. Kekacauan merupakan bagian dari proses belajarnya. Anak-anak seperti ini butuh pengalihan perhatian, misalnya dengan mengerjakan sesuatu yang lain, kemudian diarahkan kembali pada tugas utamanya. Atau anak diajak untuk menemukan hal menarik dari apa yang sedang dikerjakannya. Guru harus bisa menciptkan harmoni, kemudian mengundang anak untuk berpartisipasi

4. Anak Reseptif. Anak reseptif lebih memperhatikan aliran kehidupan. Ia ingin tahu apa yang terjadi berikutnya dan perlu tahu apa yang menurut perkiraan akan terjadi. Bila ia mengerti aliran kehidupan ini, ia lebih mudah menjadi bersikap kooperatif.

IV. MENGAPA ANAK MENENTANG?

Anak menentang karena ia merasa tidak didengar atau dipahami. Jadi, sediakan waktu untuk mendengar dan pahami apa yang anda dengarkan. Pahamilah bahwa di balik sikap menentangnya, apa perasaan terluka dan marah. Dengan berusaha mendengar dan memahami, guru tidak perlu membuang waktu dan menguras emosinya untuk marah-marah di kelas.



Disampaikan oleh Agnes Bemoe dalam Diklat Kontrak dan Trainee SMP Santa Maria Pekanbaru, September 2009