Jumat, 04 Desember 2009

POPPIES STREET

Poppies’ Street di malam itu. Ni Ketut Ayu berjalan gamang di antara toko kecil di samping jalan. Kakinya penat. Hatinya jauh lebih penat. Denpasar malam itu panas membara. Keringat mengucur di pelipisnya. Namun, bukan keringat itu benar yang mengganggunya. Perasaannya yang kecut menampar hatinya…

Ada saat dia ingin berhenti, duduk sebentar di tepi jalan yang ramai dan sibuk itu. Sekedar mengurut mata kakinya. Namun, terpikir juga olehnya, apa kata orang yang lalu lalang. Seorang gadis, duduk sendiri di tepi jalan. “Masih mending kalau aku disangka gila, kalau disangka perempuan bayaran…” Ketut Ayu tersenyum masam…

Kakinya mengayun lagi. Lebih berat dari semula. Hhh.. segala cara sudah kucoba… atau tampaknya sudah kucoba. Mungkin sebetulnya masih ada cara lain, tapi… apa? Hatinya meronta sendiri… terasa panas di badannya yang letih dan penat…

Ni Ketut Ayu tetap bergelut dengan pikirannya sendiri. Kenapa yang bagi orang lain menjadi berkat, untuknya berubah menjadi laknat… Sebutir peluh mengalir di pelipisnya. Denpasar bulan itu, gerah rasanya. Namun, bukan karena itu Ni Ketut Ayu berkeringat. Itu keringat dingin yang keluar dari dendam yang membara…

Dua puluh satu tahun usianya. Harusnya ia ada di bangku kuliah, atau jadi penari terkenal, atau pemandu wisata, atau … apalah yang membuatnya merasa berharga… Lihat dirinya: parasnya cantik. Orang bilang bak bulan purnama. Ia ikuti suatu kontes pemilihan model. Ia kirim foto-foto yang ia punya. Berharap siang dan malam, ia ikuti detik demi detik, bisa jadi foto model. Dalam doa-doanya hanya itu yang dimintakannya. Jadi foto model. Ia bisa mendapat uang, yang rencananya akan dipakainya untuk biaya kuliah.

Selepas SMA, orang tuanya tak punya biaya untuk kuliahnya. Jadilah ia serabutan, mencari kerja, untuk menutup perutnya sendiri dan membantu ibunya.
Tapi, boro-boro membantu ibunya, hari ke hari ia malah semakin menjadi benalu buat ibu dan adik-adiknya. Kerja tak juga didapatnya. Sumpah serapah ibunyalah yang ditelannya setiap harinya.

Oleh karena itu, bulat tekadnya, untuk jadi foto model. Dipintanya kepada Sang Hyang Widi, untuk cita-citanya yang satu itu, dengan peluh dan air mata… “Kabulkanlah yang satu ini… kabulkanlah yang satu ini…”
Semakin keras suara makian ibunya terdengar, semakin keras Ni Ketut Ayu menggedor pintu Sang Hyang Widi Wasa.

Obrolan tetangganya tentang pemilihan foto model seolah jadi jawaban buat doanya. Dengan pontang panting ia berfoto dan mengirimkan fotonya. Lengkap dengan data diri yang diminta.

Sejak saat itu, Ni Ketut Ayu melukis sebuah impian… untuk menjadi model…
Beberapa saat setelah mengirim foto-fotonya, Ni Ketut Ayu mendapat telpon: disuruh datang ke suatu tempat untuk ambil foto.

Ni Ketut Ayu girang bukan kepalang. Inilah saatnya! Inilah waktunya! Aku akan bebas…! Aku akan punya uang sendiri! Aku bebas...! Aku bebas…! Aku bebaaaaassss!!!!! Ni Ketut Ayu tak dapat menyembunyikan bahagianya. Dirancangnya untuk membeli babi guling dan lawar, sepulang dari berfoto…
Untuk kesekian kalinya Ni Ketut Ayu tersenyum bahagia… Namun, sayang, tipuan itu terlalu kejam, bahkan untuk Ni Ketut Ayu yang sudah kenyang dengan kejamnya kehidupan…

Agen itu ternyata agen bohong-bohongan… bukan agen foto model, seperti yang disebutkan. Agen itu ternyata agen mesum, tempat mencari gadis-gadis muda yang cantik, segar, tapi bodoh, dan putus asa…. Seperti dirinya….

Ni Ketut Ayu terhempas kembali ke dunianya dengan perasaan terluka. Sekali lagi. Nampaknya hidup belum cukup puas menyakitinya…
“Mungkin aku terlahir dengan kutuk dan tulah…” keluhnya suatu ketika. Begitu naïf aku melihat dunia ini. Kupikir masih tersedia kebaikan buat aku nikmati… Kupikir masih ada hari untuk aku syukuri…

Ni Ketut Ayu berjalan lagi. Lambat dan berat. Kelihatan sebuah motel kecil di tengah Poppies Street itu. Teringat olehnya, berapa motel, losmen, money changer, dan toko yang dia pinta untuk memberinya kerja. Kerja apa saja. Dia bersedia.

Namun, adaaaaa saja… Losmen tempat pertama dia kerja, tutup. Dengan alas an bangkrut, tokenya tak mau membayar gaji terakhirnya. Akibatnya, ia harus cari kerja lain, dengan kantong kosong. Di toko yang menjual kerajinan, dia tidak disukai oleh istri pemilik toko. Dia berhenti karena merasa tak enak. Di Money Changer juga begitu… Seolah semua pintu rejeki rame-rame menutup diri untuknya …

Orang bilang, kerja harus jujur. Di Money Changer, dia jujur, akibatnya, dibenci oleh teman-temannya, yang berjuang mencari hidup dari kutipan-kutipan. Dia dianggap sok… dan disingkiri seperti paria berpenyakit kusta…

Dia sungguh tak mengerti. Katanya, punya ketrampilan bisa memperlancar kerja. Nyatanya, di motel, kemampuan komputernya dan ketelitian kerjanya masih kalah dengan lenggok manis Ardiati, temannya. Ardiati beroleh tempat di front office, duduk di bawah ac. Sedangkan dirinya terdampar menjadi housekeeper. Bergumul dengan sapu dan tongkat pel. Dirinya yang punya kemampuan komputer dan teliti dalam bekerja…
Ardiati terus menerus mendapat bonus, di tengah kerjanya yang ceroboh dan suka bermalas-malasan kalau bos tak ada. Sementara ia mendapat ganjaran potongan gaji ketika bos menemukan sebuah nampan belum terambil dari sebuah kamar. Satu kesalahan dalam keseluruhan kerjanya… potongan gaji! Ni Ketut Ayu menelan ludah menahan geram… Jumlah yang bisa menghidupi keluarganya, direnggut begitu saja… Ketidak-adilan.. sulit diungkapkan dengan kata-kata, terutama kalau kita sedang merasakannya…

Tak tahan dengan kekejaman dan kesewenang-wenanganan bosnya, Ni Ketut Ayu memutuskan untuk berhenti. Ia menganggur lagi… Berbunyi lagi sumpah serapah ibunya…
“Manusia tak tau diri!”
“Tak berotak kau ya!”
“Sudah bagus kau kerja! Kenapa mesti keluar!!!”
“Mau makan apa kau!!”
“Menumpang saja bisamu!!”
“Tak juga kau laku! Biar ringan bebanku!!!”

Harga diri Ni Ketut Ayu benar-benar rontok dibuatnya… Sama sekali ia tak merasa berharga menjadi manusia…
Poppies Street, di malam itu. Malam yang panas di kota Denpasar… Ni Ketut Ayu berjalan terseok-seok. Beberapa kios kecil penjual baju-baju khas Bali yang terang benderang tak mampu menghangatkan hatinya…
Ia memantapkan hatinya…

Poppies Street melengkapi keindahannya dengan satu dua rumah penduduk yang bercorak Bali. Ni Ketut Ayu melihatnya dengan hati yang tersayat. Rumah yang hangat, makanan cukup, bersih, sehat, setiap anggota keluarga punya satu kamar untuk diri sendiri. Rumah yang cantik dan anggun, dengan taman kecil dan air mancur, di samping gapura kecil untuk pedupaan. Semuanya sempurna berbanding terbalik dengan rumahnya sendiri. Bukan rumah sebenarnya, tapi sebuah kamar untuk dia, ibunya, dan empat adiknya… Kamar kos yang pengap dan bau apek, karena semua barang tertumpuk di ruangan gelap itu. Nyamuk, tikus, dan kecoa, merupakan penghuni resmi lainnya, selain ia, ibunya, dan adik-adiknya…

Hmm… adik-adiknya… alangkah anehnya keluarga yang dimilikinya. Dengan empat orang adik, dia memiliki tiga orang ayah berbeda. Ayahnya sendiri, entah kemana sekarang, memiliki dua anak, dia dan adik di bawahnya. Ayahnya yang berikut memiliki satu orang anak, dan dua adek bungsunya punya ayah tersendiri…

Mereka datang dan pergi dalam kehidupan ibunya… nggg… tidak, rasanya, bukan merekalah yang datang dan pergi, tapi ibunyalah yang sibuk mencari laki-laki dan kemudian pergi meninggalkan mereka, bersama anak-anak yang tak bisa dihidupinya… Hh… bukan sesuatu yang bisa dibanggakan… Tapi itulah yang melekat pada kehidupannya…

Matanya nanar melihat rumah rumah itu. Hatinya marah menyadari bahwa ia belum pernah menikmati satu detikpun rasa bahagia bersama keluarga. Ia tidak marah karena kemiskinannya… namun, ia sangat kecewa, mengapa seolah tulah dan kutuk selalu mengikuti jejak langkahnya… mengapa tak satu pun pintu terbuka untuknya…, sehingga seolah ia tak punya kesempatan untuk keluar dari kemiskinannya…

Ni Ketut Ayu sudah sampai di ujung Poppies Street. Kakinya terseret penat, matanya nanar, keringatnya mengalir semakin deras. Sekarang bertambah dengan air matanya. Tangannya bergetar hebat, badannya lemah, terseret oleh kedua kakinya…

Sayup terdengar debur ombak pantai Kuta…
Ni Ketut Ayu melangkah ke sana…

Pekanbaru, 4 Desember 2009
17:09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar