Minggu, 20 Desember 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Fifi, sang pudel setia, tertawa bahagia. Bermain bola ia, bersama kawan-kawannya. Ceria lekat di wajahnya. Bermain bola ia, saat harus berjaga...
Tak perlu tampil sempurna. Toh mata Manusia Setengah Dewa jauh di sana... Pikir Fifi si pudel setia.. Kemnali wajahnya cerah ceria.. Bermain bola ia, pada saat harus berjaga, tanpa ada rasa bersalah...
Yang penting citra yang sempurna, bukan tekun berkarya. Yang penting, pandai-pandailah memutar fakta.. Toh Sang Nyah sudah digenggamnya, dan Manusia Setengah Dewa jauh di sana...
Fifi, sang pudel setia, kembali bermain bola..

1 Suro 2009

Minggu, 13 Desember 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Hari ini, Fifi, si pudel hitam yang setia, kembali bersuka. Menatap ia piring tempat makannya. Wajahnya langsung ceria. Ha..! Hari ini, lebih banyak remah sisa dari sang Nyah untuknya. Hmm... Nikmat rasanya.. Sekali lagi hatinya bersuka.. Melihat lebih banyak tumpukan remah sisa di piringnya...

Mengapa tak kubuat sedari mula, hingga dapat kukumpulkan remah sisa. Pikir Fifi, pudel setia. Padahal caranya mudah saja. Tinggal merapat ke kaki sang Nyah, lalu menjilatinya dengan mesra... Ditengah keringnya cinta, karna prilaku kasar membabi buta, jilatan Fifi si pudel setia tentu bak angin surga.. Sang Nyah teriba ... Mengulurlah dengan mudah remah-remah sisa makannya... Untuk Fifi, si pudel setia...

Hari ini, Fifi, si pudel setia, menikmati setiap remah yang tertuang di piringnya...

Hari ini sang Nyah makin tebar pesona...


Pekanbaru, 12 Desember 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Syahdan Fifi, pudel hitam sang Nyah, tak terima perilaku cermin celaka. Mengapa memancar wajah sang Nyah, buruk belaka.. Teringat ketika ia, haturkan cermin celaka itu pada sang Nyah, dengan moncong kecilnya... Sang Nyah menangis mengiba.. Fifi tak kuasa menahan murka. Cermin celaka, bersiaplah untuk sebuah bala, pikir Fifi, pudel setia.

Setia? Pudel nakal yang dulunya sering digetok sang Nyah, sekarang seperti kena amnesia. Lupa sejarah...

Berlari-lari tergesa, Fifi si pudel setia, pergi ke Manusia Setengah Dewa. Fifi, pudel setia mendesak Manusia Setengah Dewa: cermin harus terima mala, atas pancaran buruk rupa sang Nyah...

Manusia Setengah Dewa bersabda: lempar batu untuk cermin tak beretika! Rajam hingga tak bernyawa! Manusia Setengah Dewa tlah bersabda.
Fifi, si pudel setia, langsung bersuka. Akhirnya, tamat riwayatmu, cermin celaka. Dan aku melenggang bak primadona.. Fifi, pudel hitam yang tiba-tiba setia...

Sementara sang Nyah, masih berderai air mata... Wahai, hatiku yang luka dan teraniaya... Karena cermin celaka, buruk rupanya tersebar ke mana mana.. Sang Nyah tambah deras berurai air mata... Semakin tampak ia berduka, semakin baik nampaknya... Maka, sang Nyah menambah duka di wajahnya... Bertutur ia, penuh bunga... Dan seperti yang ia duga, Sang Manusia Setengah Dewa terperdaya...

Hari ini, Fifi si pudel setia, melempar batu pertama, pada cermin celaka...

Hari ini, Manusia setengah Dewa melampiaskan murka pada cermin celaka di hadapan mereka...

Sang Nyah, dalam hati tertawa...

Pekanbaru, 9 November 2009

Kisah Nyah Ndut dan Pudel Hitamnya

Hari ini Nyah Ndut lagi berduka. Wajahnya suram berurai air mata. Terduduk ambruk pertanda pasrah. Kembali dilihatnya cermin di tangannya. Raut yang di dalam cermin ternyata tak seindah sangkanya.. Hatinya terluka...


Di kakinya duduk pudel hitamnya. Fifi namanya. Menjilati kaki sang Nyah sambil menghibur mesra.

Pudel yang dulu nakal dan sering digetok sang Nyah, sekarang bagai kena amnesia. Lupa sejarah.

Pudel manis bergulung manja, di bawah kaki sang Nyah... Seolah berkata, aku akan selalu menjagamu Nyah...Jangan lagi berduka...

Hari ini, Nyah Ndut tengah menuai laba, dari kepiawaiannya bermain drama..


Sebuah Cerpen oleh Agnes Bemoe
Pekanbaru, 9 Desember 2009

Jumat, 04 Desember 2009

POPPIES STREET

Poppies’ Street di malam itu. Ni Ketut Ayu berjalan gamang di antara toko kecil di samping jalan. Kakinya penat. Hatinya jauh lebih penat. Denpasar malam itu panas membara. Keringat mengucur di pelipisnya. Namun, bukan keringat itu benar yang mengganggunya. Perasaannya yang kecut menampar hatinya…

Ada saat dia ingin berhenti, duduk sebentar di tepi jalan yang ramai dan sibuk itu. Sekedar mengurut mata kakinya. Namun, terpikir juga olehnya, apa kata orang yang lalu lalang. Seorang gadis, duduk sendiri di tepi jalan. “Masih mending kalau aku disangka gila, kalau disangka perempuan bayaran…” Ketut Ayu tersenyum masam…

Kakinya mengayun lagi. Lebih berat dari semula. Hhh.. segala cara sudah kucoba… atau tampaknya sudah kucoba. Mungkin sebetulnya masih ada cara lain, tapi… apa? Hatinya meronta sendiri… terasa panas di badannya yang letih dan penat…

Ni Ketut Ayu tetap bergelut dengan pikirannya sendiri. Kenapa yang bagi orang lain menjadi berkat, untuknya berubah menjadi laknat… Sebutir peluh mengalir di pelipisnya. Denpasar bulan itu, gerah rasanya. Namun, bukan karena itu Ni Ketut Ayu berkeringat. Itu keringat dingin yang keluar dari dendam yang membara…

Dua puluh satu tahun usianya. Harusnya ia ada di bangku kuliah, atau jadi penari terkenal, atau pemandu wisata, atau … apalah yang membuatnya merasa berharga… Lihat dirinya: parasnya cantik. Orang bilang bak bulan purnama. Ia ikuti suatu kontes pemilihan model. Ia kirim foto-foto yang ia punya. Berharap siang dan malam, ia ikuti detik demi detik, bisa jadi foto model. Dalam doa-doanya hanya itu yang dimintakannya. Jadi foto model. Ia bisa mendapat uang, yang rencananya akan dipakainya untuk biaya kuliah.

Selepas SMA, orang tuanya tak punya biaya untuk kuliahnya. Jadilah ia serabutan, mencari kerja, untuk menutup perutnya sendiri dan membantu ibunya.
Tapi, boro-boro membantu ibunya, hari ke hari ia malah semakin menjadi benalu buat ibu dan adik-adiknya. Kerja tak juga didapatnya. Sumpah serapah ibunyalah yang ditelannya setiap harinya.

Oleh karena itu, bulat tekadnya, untuk jadi foto model. Dipintanya kepada Sang Hyang Widi, untuk cita-citanya yang satu itu, dengan peluh dan air mata… “Kabulkanlah yang satu ini… kabulkanlah yang satu ini…”
Semakin keras suara makian ibunya terdengar, semakin keras Ni Ketut Ayu menggedor pintu Sang Hyang Widi Wasa.

Obrolan tetangganya tentang pemilihan foto model seolah jadi jawaban buat doanya. Dengan pontang panting ia berfoto dan mengirimkan fotonya. Lengkap dengan data diri yang diminta.

Sejak saat itu, Ni Ketut Ayu melukis sebuah impian… untuk menjadi model…
Beberapa saat setelah mengirim foto-fotonya, Ni Ketut Ayu mendapat telpon: disuruh datang ke suatu tempat untuk ambil foto.

Ni Ketut Ayu girang bukan kepalang. Inilah saatnya! Inilah waktunya! Aku akan bebas…! Aku akan punya uang sendiri! Aku bebas...! Aku bebas…! Aku bebaaaaassss!!!!! Ni Ketut Ayu tak dapat menyembunyikan bahagianya. Dirancangnya untuk membeli babi guling dan lawar, sepulang dari berfoto…
Untuk kesekian kalinya Ni Ketut Ayu tersenyum bahagia… Namun, sayang, tipuan itu terlalu kejam, bahkan untuk Ni Ketut Ayu yang sudah kenyang dengan kejamnya kehidupan…

Agen itu ternyata agen bohong-bohongan… bukan agen foto model, seperti yang disebutkan. Agen itu ternyata agen mesum, tempat mencari gadis-gadis muda yang cantik, segar, tapi bodoh, dan putus asa…. Seperti dirinya….

Ni Ketut Ayu terhempas kembali ke dunianya dengan perasaan terluka. Sekali lagi. Nampaknya hidup belum cukup puas menyakitinya…
“Mungkin aku terlahir dengan kutuk dan tulah…” keluhnya suatu ketika. Begitu naïf aku melihat dunia ini. Kupikir masih tersedia kebaikan buat aku nikmati… Kupikir masih ada hari untuk aku syukuri…

Ni Ketut Ayu berjalan lagi. Lambat dan berat. Kelihatan sebuah motel kecil di tengah Poppies Street itu. Teringat olehnya, berapa motel, losmen, money changer, dan toko yang dia pinta untuk memberinya kerja. Kerja apa saja. Dia bersedia.

Namun, adaaaaa saja… Losmen tempat pertama dia kerja, tutup. Dengan alas an bangkrut, tokenya tak mau membayar gaji terakhirnya. Akibatnya, ia harus cari kerja lain, dengan kantong kosong. Di toko yang menjual kerajinan, dia tidak disukai oleh istri pemilik toko. Dia berhenti karena merasa tak enak. Di Money Changer juga begitu… Seolah semua pintu rejeki rame-rame menutup diri untuknya …

Orang bilang, kerja harus jujur. Di Money Changer, dia jujur, akibatnya, dibenci oleh teman-temannya, yang berjuang mencari hidup dari kutipan-kutipan. Dia dianggap sok… dan disingkiri seperti paria berpenyakit kusta…

Dia sungguh tak mengerti. Katanya, punya ketrampilan bisa memperlancar kerja. Nyatanya, di motel, kemampuan komputernya dan ketelitian kerjanya masih kalah dengan lenggok manis Ardiati, temannya. Ardiati beroleh tempat di front office, duduk di bawah ac. Sedangkan dirinya terdampar menjadi housekeeper. Bergumul dengan sapu dan tongkat pel. Dirinya yang punya kemampuan komputer dan teliti dalam bekerja…
Ardiati terus menerus mendapat bonus, di tengah kerjanya yang ceroboh dan suka bermalas-malasan kalau bos tak ada. Sementara ia mendapat ganjaran potongan gaji ketika bos menemukan sebuah nampan belum terambil dari sebuah kamar. Satu kesalahan dalam keseluruhan kerjanya… potongan gaji! Ni Ketut Ayu menelan ludah menahan geram… Jumlah yang bisa menghidupi keluarganya, direnggut begitu saja… Ketidak-adilan.. sulit diungkapkan dengan kata-kata, terutama kalau kita sedang merasakannya…

Tak tahan dengan kekejaman dan kesewenang-wenanganan bosnya, Ni Ketut Ayu memutuskan untuk berhenti. Ia menganggur lagi… Berbunyi lagi sumpah serapah ibunya…
“Manusia tak tau diri!”
“Tak berotak kau ya!”
“Sudah bagus kau kerja! Kenapa mesti keluar!!!”
“Mau makan apa kau!!”
“Menumpang saja bisamu!!”
“Tak juga kau laku! Biar ringan bebanku!!!”

Harga diri Ni Ketut Ayu benar-benar rontok dibuatnya… Sama sekali ia tak merasa berharga menjadi manusia…
Poppies Street, di malam itu. Malam yang panas di kota Denpasar… Ni Ketut Ayu berjalan terseok-seok. Beberapa kios kecil penjual baju-baju khas Bali yang terang benderang tak mampu menghangatkan hatinya…
Ia memantapkan hatinya…

Poppies Street melengkapi keindahannya dengan satu dua rumah penduduk yang bercorak Bali. Ni Ketut Ayu melihatnya dengan hati yang tersayat. Rumah yang hangat, makanan cukup, bersih, sehat, setiap anggota keluarga punya satu kamar untuk diri sendiri. Rumah yang cantik dan anggun, dengan taman kecil dan air mancur, di samping gapura kecil untuk pedupaan. Semuanya sempurna berbanding terbalik dengan rumahnya sendiri. Bukan rumah sebenarnya, tapi sebuah kamar untuk dia, ibunya, dan empat adiknya… Kamar kos yang pengap dan bau apek, karena semua barang tertumpuk di ruangan gelap itu. Nyamuk, tikus, dan kecoa, merupakan penghuni resmi lainnya, selain ia, ibunya, dan adik-adiknya…

Hmm… adik-adiknya… alangkah anehnya keluarga yang dimilikinya. Dengan empat orang adik, dia memiliki tiga orang ayah berbeda. Ayahnya sendiri, entah kemana sekarang, memiliki dua anak, dia dan adik di bawahnya. Ayahnya yang berikut memiliki satu orang anak, dan dua adek bungsunya punya ayah tersendiri…

Mereka datang dan pergi dalam kehidupan ibunya… nggg… tidak, rasanya, bukan merekalah yang datang dan pergi, tapi ibunyalah yang sibuk mencari laki-laki dan kemudian pergi meninggalkan mereka, bersama anak-anak yang tak bisa dihidupinya… Hh… bukan sesuatu yang bisa dibanggakan… Tapi itulah yang melekat pada kehidupannya…

Matanya nanar melihat rumah rumah itu. Hatinya marah menyadari bahwa ia belum pernah menikmati satu detikpun rasa bahagia bersama keluarga. Ia tidak marah karena kemiskinannya… namun, ia sangat kecewa, mengapa seolah tulah dan kutuk selalu mengikuti jejak langkahnya… mengapa tak satu pun pintu terbuka untuknya…, sehingga seolah ia tak punya kesempatan untuk keluar dari kemiskinannya…

Ni Ketut Ayu sudah sampai di ujung Poppies Street. Kakinya terseret penat, matanya nanar, keringatnya mengalir semakin deras. Sekarang bertambah dengan air matanya. Tangannya bergetar hebat, badannya lemah, terseret oleh kedua kakinya…

Sayup terdengar debur ombak pantai Kuta…
Ni Ketut Ayu melangkah ke sana…

Pekanbaru, 4 Desember 2009
17:09

Rabu, 02 Desember 2009

IDOLA - Sebuah Cerpen

Siang hari, di Surabaya yang panas (ah, jadi mirip lagu Franky and Jane!), sebenarnya tak terlalu enak untuk latihan menyanyi. Yang paling enak adalah di rumah, sambil nyruput es campur yang dijual di ujung gang.
Sania bergegas memasuki studio kecil di lantai dua. Berto sudah menunggu.
“Ayo, latihan, sudah banyak yang nunggu…!” Ah, Sweet Berto! Sania mencium sekilas pemuda bertubuh subur yang selalu penuh perhatian itu.

Semenjak menjuarai sebuah ajang pemilihan bintang di Jawa Timur enam bulan lalu, hidup Sania tiba-tiba berubah. Dari penyanyi yang mencoba mengais hidup dari pub yang satu ke pub yang lain Sania sepertinya bermetamorfosa menjadi seorang selebritis.
Setahun yang lalu Sania adalah cecurut dalam dunia hiburan. Tidak jarang ia tidak dapat job sama sekali. Dalam situasi seperti itu, satu-satunya pelarian Sania adalah pintu belakang bangunan besar di depan kamar kosnya yang sempit dan supek di daerah Dinoyo. Pintu ke arah Biara SVD. Dengan bantu-bantu para pastor di sana, apa saja, siram bunga, mendangir, membersihkan dapur, membersihkan kamar mandi, atau apa saja yang bisa ia kerjakan. Dengan itu Sania boleh mengganjal perutnya yang lapar.
Lalu, datanglah berita tentang ajang pemilihan bintang. Ia dengar dari Henny, temannya sesama entertainer di pub.
Sania larut dalam ribuan perserta se-Jawa Timur. Bahkan ia dengar, ada juga peserta dari bagian Indonesia Timur, seperti dari Manado, Bali, dan Flores. Sania sedikit gentar. Prestasi terakhirnya adalah juara menyanyi se- SDnya waktu ia kelas IV. Selain itu, ia hanya penyanyi serabutan dari satu café ke café yang lain. Dari satu pub yang lain. Pernah juga ia jadi penyanyi untuk acara ulang tahun anak. Ia dikontrak oleh sebuah rumah makan ayam goreng terkenal. Sania ingat, ia harus mengenakan baju badut yang besarnya minta ampun. Panasnya apalagi! Dan di dalamnya, ia harus tetap bernyanyi. Menghibur anak-anak kecil yang lebih banyak main dan makan daripada mendengarkan lagunya.
Tapi rupanya, dewi fortuna sedang tersenyum padanya, setelah sekian lama memalingkan muka. Sania mendapat banyak dukungan SMS dan kemudian terpilih menjadi juara.
Sontak ia laris bak pisang goreng. Ia diminta menyanyi di banyak tempat. Di mana-mana tepuk tangan gemuruh menyambutnya. Ia tidak lagi punya waktu luang, apalagi sambil kelaparan. Daftar nomor telponnya bertambah panjang, kali ini bukannya ia yang menelpon untuk menanyakan job, tetapi orang-oranglah yang minta ia menyanyi, dan kemudian meninggalkan nomor telfon.
Sania ingat, dengan penuh gembira ia masuk ke pintu belakang Biara Soverdi. Pater Petu sedang di taman, mendangir. Dengan penuh semangat ia menceritakan kemenangannya. Pastor tua itu tertawa-tawa seolah-olah mengejek, padahal Sania tahu, pastor itu merasa sangat senang dan bangga.
“Kau jangan lupa e.. sama gereja…,” begitu kata Pater Petu dengan logat Timurnya yang kental. Sania terus ingat kata-kata itu.

Maksud Pater Petu adalah supaya ia tidak boleh lupa ke gereja. Tapi, Sania mendapati dirinya begitu padat dengan kegiatan show. Ketika ia mendapat honor yang mengejutkan, saking besarnya, setelah menyanyi di Yogyakarta, Sania membeli sebuah tempat lilin perak berukuran besar dari Kota Gede.
Sania meletakkan tempat lilin perak itu di dekat patung Bunda Maria di kapel Biara Soverdi.
“Sungguh, tempat lilin ini tidak bisa menggantikan tempatku di gereja ini. Tapi, perkenankanlah aku sebentar mencari duniaku…” begitu doa Sania di depan Bunda Maria.
Setelah itu pun bila ia ada kesempatan ke luar kota, ia selalu mencari pernik-pernik rohani.

Dan, rupanya, bintang Sania semakin terang. Sebuah perusahaan rekaman dari Jakarta menawarinya untuk rekaman. Sania langsung tenggelam dalam proyek rekaman tersebut. Proses rekaman inilah yang mengenalkan ia pada beberapa pesohor negeri ini. Bertemu dengan Laudya Chintya Bella yang mencoba rekaman. Juga bertemu dengan the raising star Nidji.
Ia bertemu juga dengan Rika Roeslan yang menyumbang satu lagu buat albumnya. Berkat hubungan baik produsernya tentu saja. Tapi ia memang suka lagu-lagu mantan personel The Groove itu.
Sekarang Sania sedang dalam tahap mengambilan suara untuk lagu-lagunya.

Namun, sebenarnya, ada satu obsesi Sania yang terbesar. Itu adalah menyanyi dengan Delon. Pemenang sebuah kontes menyanyi yang diadakan oleh sebuah stasiun TV yang terkenal beberapa tahun yang lalu. Sejak Delon masih jadi peserta yang culun dan imut, Sania sudah suka. Suaranya halus dan bersih. Baginya Delon punya kelebihan karena ia tidak hanya menyanyi, tetapi menyanyi dengan hati. Delon sangat layak jadi pemenang.
Sania ingin sekali dapat kesempatan bernyanyi dengan Delon. Ia sering membayangkan menyanyi bersama Delon. Lagunya “The Prayer”. Waw! Sania sesak nafas sendiri kalau memikirkan khayalannya. Baginya, menyanyi bersama Delon adalah prestasinya yang paling ingin dikejarnya. Ia tidak ingin se-ngetop Agnes Monika, dengan segudang award, apalagi sampai go-international. Whew! Gak lah! Sania cuman kepingin menyanyi untuk dapat uang. Dan kalau boleh mimpi, ia pingin sekali menyanyi dengan si imut Delon.

Rupanya Sania benar-benar sedang lucky berat. Untuk peringatan Natal dan Tahun baru mendatang Panitia Natal Ekumene Surabaya ternyata mengundang Delon! Dan hebatnya lagi, Sania diminta untuk duet bersama Delon!
“Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan, …..” Sania tergagap-gagap sendiri waktu mendengar berita itu. Matanya terbelalak dan napasnya seperti mau berhenti.
Delon! Delon yang diimpi-impikannya, akan datang dan bernyanyi bersamanya! Ingin rasanya ia menghentikan perputaran dunia ini, hanya supaya ia bisa menikmati sensasi kegembiraannya atas kabar yang baru saja didengarnya!

Sania latihan gila-gilaan. Tidak hanya itu, dengan cerewet ia menentukan baju yang akan dipakainya. Ia tidak mau lagi baju dari sponsor yang biasanya tidak sesuai dengan seleranya. Ia minta dibuatkan baju panjang berwarna broken-white berleher bulat dengan bordir dan manik di bagian pinggulnya. Baju itu dirasanya paling pas untuk dipakai bersanding dengan Delon. Sania memimpikan dirinya seolah-olah Delon adalah pengantin laki-lakinya. Sania pingin tampil cantik untuk pengantin laki-lakinya.

Akhirnya, tibalah malam yang dinantikan itu. Oh, ya, kemarin sore ia sudah latihan dengan Delon. Wah! Pujaannya itu memang benar-benar cool! Sangat rendah hati, sangat kooperatif. Dan tentunya, suaranya sangat bening dan halus. Dan betapa bangganya Sania karena ia bisa mendengarnya dengan kupingnya sendiri!
Malam itu, pohon Natal setinggi tiga meter yang dipajang di sudut panggung terlihat begitu indahnya. Kesempatan Sania akan datang sebentar lagi. Ceritanya, Sania akan muncul dari belakang panggung, sementara Delon dari tengah penonton. Mereka akan bertemu di tengah panggung. Kemudian Delon akan meraih tangannya…
Alunan musik sudah terdengar. Dentingan “Panis Angelicus” dari piano yang dimainkan oleh Lexy, seorang pianis di gereja. Sekaranglah Sania harus masuk…

“HEH!! Bengong aja! Kerja!!! Emang dengan bengong gitu bisa dapet duit! Ayo kerja lagi! Kamu pikir saya mau mbayarin orang bengong!” hamburan sumpah serapah itu keluar dari mulut Chandra, pengawas bar dangdut di sudut Surabaya itu.
Aku segera tersadar dari mimpiku. Mimpi di atas mimpi malah.

Aku memang Sania. Memang penyanyi. Tetapi bukan penyanyi terkenal pemenang kejuaraan. Aku salah seorang penyanyi dangdut di bar dangdut itu. Itu pun harus berebut perhatian dengan puluhan penyanyi bar dangdut yang rata-rata seksi dan molek.
Aku memang penggemar berat Delon. Dan aku memang sering memimpikan menyanyi bersama Delon. Tapi, tentu saja, biar dunia kiamat, bom atom berdetum untuk kedua kalinya, atau WTC terbangun kembali, tidak akan mungkin Delon menyanyi dengan seorang penyanyi serabutan di bar dangdut!
Mataku nanar menatap panggung kayu di depanku. Panggungku yang sebenarnya…

Dan yang benar juga adalah Pater Petu dengan pintu biaranya. Mereka bukan sekedar khayalanku. Pater Petu dengan biaranya yang memberiku sekedar nasi untuk menghangatkan perutku. Walaupun sampai sekarang, belum ada satu butir perak pun kuberikan pada biara itu.


Pekanbaru, 7 Januari 2007
Agnes Bemoe

MY TEACHERS AND ME…

Kalo ngomongin guru… ada buanyaaak sekali guru yang kuingat dengan penuh cinta dan hormat… ini beberapanya:

Aku tidak ingat guru TK-ku waktu aku sekolah di TK Santa Clara Surabaya. Mungkin karena aku juga nggak terlalu lama sekolah di situ. Aku baru ngeh punya guru waktu aku sekolah di TK Santa Maria Blitar. Aku suka sama satu bu Guru (maaaaf buuuuuu… lupa namanya…), karena menurutku dia cantik… hihihi… Mungkin karena aku masih kecil. Senang ato nggak masih karena penampilan fisiknya. Terus terang aku ingat, aku suka karena ibu guru itu pake lipstik warna merah. Menurutku saat itu, pakai lipstik itu cantik sekali….:)

Aku juga suka sama Suster… (aduuuuh, lagi-lagi lupa namanya…) soalnya selain lembuuut (kayaknya ga ada de guru TK-ku yang ga lembut), juga suka bagi-bagi gambar kudus… hehehehe…

Masuk ke SD, di SD Santa Maria Blitar, yang aku ingat adalah guru Kelas 1-ku: Bu Kamthi. Orangnya manis, lembut tutur katanya, tapi juga disiplin (biasa de.. disiplin jaman dulu: tangan dilipat de el el…. Hehehehe…). Tapi, aku ingat, aku dekeeeeet banget sama ibu ini. Aku sering diajak ke rumahnya, di daerah Bendogerit, naik dokar…. Wow! Ibu ini akhirnya menikah dengan orang Flores (eh, Kupang mungkin), apa karena terinspirasi oleh murid seperti aku yah… hahahahaha…..

Naik ke kelas III aku pindah ke Pasuruan, di SD Sang Timur Pasuruan. Aku inget banget, guru yang PUALING AKU SUKA: Ibu Sukeni!!!!!! Beliau guru kelas IV. Wes, pokok e semuanya aku suka, ngajarnya jelas dan enak, ramah tapi tegas, adil, disiplin, en tetep keibuaaaaaaaan banget! Belajar karesidenan-karesidenan di Jawa yang membingungkan tuh jadi menyenangkan, belajar sejarah juga ga kayak belajar sejarah, karena Ibu Sukeni ini seperti ndongeng aja…

Aku inget, pernah di pelajaran kesenian, kami disuruh nyanyi satu-satu. Aku nyanyi lagu ini:
IBU GURU KAMI, PANDAI SEKALI
PANDAI BERCERITA ASIK SEKALI
KAMI DIBIMBINGNYA DENGAN SETULUS HATI
JADI ORANG BERGUNA DI KEMUDIAN HARI…

Saat itu memang aku ingin menyanyikan lagu itu untuk Bu Sukeni.
Eh, suer, aku inget, Bu Sukeni agak terdiam, (entah terharu entah kupingnya sakit.. hihihihi…) , tapi trus aku disuruh nyanyi satu lagu lagi…

Sampai aku naik kelas, BAHKAN sampe aku SMP kalo ketemu dengan Bu Sukeni, aku masih suka teriak: BUU SUKENIIIIIIII………!

Di SD juga aku punya satu guru lagi yang aku suka. Guruku kelas VI: Bu Agatha Damai Christiah. Bu Christ aku manggilnya. Kalo bu Sukeni sudah berumur, nah kalo Bu Christ ini masih muda. Orangnya nyenengin, aku ngerasa sama kakakku aja (ups! Sok kenal sok deket!) Ato paling enggak sama Bibiku lah… Aku sering main ke rumah kontrakannya di daerah Jalan Niaga Pasuruan. Bu Christ-lah yang tahu aku ada bakat baca puisi, trus aku disuruh ikut Lomba Deklamasi se-Kabupaten Pasuruan, en ibu itu yang nglatih. Eh, juara lo… hehehehe…
Terakhir, ketika aku mau lulus, bu Christ juga harus pindah, karena calon suaminya ditugaskan di Ngawi, Jawa Tengah. Sampai beberapa lama aku masih surat-suratan sama Bu Christ. Aku inget, bahasa beliau tu puitiiiiiiiis banget… cocok sama aku…
Kemudian aku SMP di SMP Adisucipto Pasuruan. Yang langsung aku suka adalah Pak Tono, guru Fisika dan Matematika. Sukanya karena: ga cuman cerdas en ngajarnya enak, tapi, Pak Tono ini ENGGAK PERNAH menolak pertanyaan sebodoh apapun! Malahan, dia ngasi waktunya untuk pertanyaan yang diluar pelajaran. Pernah, Andreas, temenku, nanya: “Pak, saya lebih gemuk daripada Sukanto. Tapi kok jerawat Sukanto lebih banyak? Kan saya yang lebih banyak lemak?”…
Kalo kami ga tanya, dia yang giliran nanya. so keluarlah pertanyaan aneh-aneh:
“Kenapa tutup gelas kok suka lengket di gelas?”
“Kenapa seng kok dibuat bergelombang?”
“Kenapa kok kalo mobil direm mendadak, kita seperti terpelanting?”

Pertanyaan-pertanyaan “sederhana” yang tentu aja ga begitu sederhana buat kami saat itu…
Belajar sama Pak Tono, aku ngerasain enaknya belajar Fisika dan Matematika. Orang bilang guru mat or fis harus killer, ga tuh…! Pak Tono ga killer, en aku malah jadi jatuh hati sama Fisika en Matematika…
Waktu Pak Tono diterima jadi PNS, kami sama-sama nangis dan “demo”, minta Pak Tono ga pindah dari sekolah kami… hihihihi…. Pak Tono bilang: “Status saja yang berubah, yakni jadi PNS, tapi penugasan tetap di SMP Adisucipto…”…. Hwaaa… langsung bubar deh demonstrasinya…. Hahahahaha….

Satu lagi yang aku suka en aku hormati, yakni Bapak Kepala Sekolahku yang juga mengajar PMP (Pendidikan Moral Pancasila), namanya Bapak Yono (R.M. Yono Hadisiswoyo).
Beliau ngajar PMP bedaaa sekali sama guru lain: ga model hafalan. Malah, beliau ga suka kalo hafal plek! Satu hal yang aku SALUUUUUT berat, beliau lewat bidang studi PMP mampu merubah pola pikir kami tentang MUSYAWARAH dan MUFAKAT.

Aku tahunya waktu ada rapat OSIS. Biasanya kan, dalam rapat orang cenderung milih voting, apalagi kalo masih kecil-kecil kayak kami. Aku heran, kok, kakak-kakak kelasku ga mau voting, sedapat bisa musyawarah. TERNYATA, aku baru ngeh setelah diajar sama Pak Yono.. aku lupa gimana caranya, tapi beliau bener-bener mengarahkan kami untuk tidak terlena dengan voting, dan lebih memanfaatkan musyawarah. Dari situ aku SALUUUT berat! Apalagi sekarang aku tau, susahnya menanamkan NILAI pada anak… bener-bener deh…. Kalo ada kata yang setepat-tepatnya untuk menggambarkan kekagumanku pada bapak itu…

Apalagi, kalo kuperhatikan, Pak Yono ini kalo masuk kelas, yang pertama kali beliau lakukan adalah: merapikan meja guru, kalo taplak kisut dikebaskannya, vas diletakkan dengan rapi…. Wees pokok e ruapi pol!!! Kemudian dia nyapa dulu anak-anaknya, ga sekedar nyapa basa basi gitu… tapi ditanyanya: tadi barusan belajar apa? Gimana? Bisa enggak? Cape enggak? So, biarpun beliau Kepsek, beliau ga pernah sok jaim or sok galak. Beliau memang tipe cool (maklum produk asli Jawa Tengah), tapi ga jaim. Aku ngerasa aku lebih banyak HORMATnya dari pada takutnya…. Sama beliau memang aku nggak deket dalam pengertian bisa haha-hihi gitu, tapi suer, sampe sekarang aku mengingat beliau dengan HORMAT sekali…
Waktu aku menang Juara I Lomba Karya Tulis Tingkat Kabupaten Pasuruan, dan kemudian lagi Juara I Tingkat Propinsi Jawa Timur, wah, beliau keliatannya banggaaaaaa banget… aku diajak keliling ke semua kelas, en dicrita-critakan bahwa aku juara blah blah blah… wheh! So pasti aku yang memang dari sononya narsis ini seneng banget…:D

Kelas II pertengahan aku pindah ke Waikabubak, Sumba Barat. Satu setengah tahun di situ, kayaknya aku dan guruku saling merasa sama-sama biasa… aku tergolong biasa buat mereka, mereka juga untukku.

Sekarang, setelah aku jadi guru, aku baru bisa merasa SALUT, atas niat, upaya, kehendak baik para guruku di Sumba, dengan situasi dan kondisi yang serba terbatas, mereka sepertinya ga menganggap itu masalah… Terutamanya aku salut sama kepsekku Bapak Josep Pea Wutun, B.A. Aku merasa, beliau orang yang sangat punya visi tentang pendidikan. Ini kelihatan pada saat beliau member pengarahan kepada kami. Jarang sekali ada yang seperti ini…

Next, lulus SMP aku sekolah di SMA Cor Jesu Malang.
Banyak guru yang aku suka, malah kayaknya lebih banyak guru yang aku suka daripada yang aku ga suka. Bener, bukan karena sekedar sentimentil bernostalgi… no no no no!
Di Kelas I aja: aku suka bu Ani (guru Mat) karena lembut, keibuan, en ngajarnya juelasssss banget! Aku suka pak Tengsoe (Sastra, Bahasa Indonesia): soalnya kuanggap revolusioner untuk ukurang guru jaman itu. En aku suka yang begitu. APALAGI aku suka sastra… Baru kali ini aku ngeliat guru bahasa Indonesia ngerti sastra…. So, enak banget mengunyah-ngunyah bahasa dan sastra dengan Pak Tengsoe. Bu Susi (ngajar mat): biarpun “dingin”, tapi ga sok or jahat. Nerangkannya uenak! Logikanya lancar dan jelas. Pak Paul (?) guru Fisika, juga aku suka, karena ngajarnya yang enak, jelas, dan komunikatif banget. Bu … (aduh, kok lupa ya…) yang ngajar bahasa Inggris: aku suka dia karena bahasa Inggrisnya yang oke punya, en tipe soal ulangan dia; dia bilang “Nomor 1 itu kalian bisa karena kalian belajar/menghafal, dan nomor 2 itu karena kalian menganalisa”. Whew.. buatku itu sangat menantang…
Pak Pudiarjo yang ngajar Ekonomi… aku inget dia bilang: saya sudah besar, saya beri garis-garis besarnya, nah, kalian masih kecil, kalin cari garis-garis kecilnya… hehehehe….

En, so pasti guru yang ngikutin kami sampe lulus: Pak Pur, guru sejarah. Wah, boleh dibilang, beliau ini diam-diam kujadikan role model ku dalam ngajar. Sejarah dari ujung dunia mana juga dia tau.. ga pernah bawa buku ke kelas, semua ada di kepalanya! Humoris, tapi juga tegas.. Suka nyebelin, karena ulangannya cuman dua nomor, dua-duanya esai: itu juga mentok-mentok nilainya 5! Nilai 2 juga ga segen beliau kasi….:|
Dulu kami merutuk-rutuk, sekarang baru aku tau, bernalar dan berlogika tu memang perlu dilatih. Nalar dan logika kami saat itu memang di level 2! Hihihihihihi….

Satu lagi, guru yang aku suka: Pak Wahyudi. Guru Melukis. Aku suka karena beliau ngajarin banyak teknik ngelukis, yang sekarang kalo aku lagi suntuk, kupraktekkan…. Lumayan, suntuk ilang…. (biarpun temen-temenku suka ga ngerti aku nglukis apa… hahahahaha…)
Last but not least, aku suka sama Sr. Marietta, OSU, Kepsekku. Beliau memang ga ngajar. Tapi, beliau ngasi retret orientasi kepada kami di kelas I. Aku suka karena beliau ga cuman cerdas, tapi gimana ya… tegas, sekaligus menyenangkan… Sama beliau aku jatohnya kagum berat. Beberapa program beliau aku contek untuk kupraktekkan.. (ga papa ya sTer…)
Satu hal yang paling aku inget sampe detik ini… waktu aku kelas I aku sebenernya agak minder, soale temen-temenku tajir-tajir en dari kota-kota besar se Indonesia. Tapi, aku seneng banyak hal dan banyak ikut kegiatan ekskul. Salah satunya teater (yang dibimbing oleh Pak Tengsoe). Waktu ada perpisahan kelas III, teater sekolah nampil, aku ikut juga nampil. Pas kebetulan, vocal grup kelasku yang jadi juara lomba vocal grup ditampilkan. Aku juga ikut vocal grup.
Beberapa hari setelah malam perpisahan itu, aku ketemu sama Sr. Marietta di lorong sekolah. Bukan ketemu sih, tapi Suster lagi jalan di lorong sekolah gitulah…
Tau-tau, waktu ngeliat aku, Suster bilang:
“Agnes, bakatmu banyak. Kembangkan!”

Huik!! Kaget aku, kepsekku tau namaku! Itu aja udah bikin buanggaaaanya minta ampun! Apalagi dia tahu aku en encouraged me. Aku yang “cuman” dari kota kecil en biasa-biasa aja ngerasa jadi istimewaaaaaaa kali….:)
Tentu aja saat itu aku malah bengong kayak kambing ompong…. Sekakarng, baru aku tahu maknanya ekskul de el el… bukan “hura-hura” en nghabisin waktu, apalagi sarana cari duit buat sekolah, tapi ada empowering didalamnya. Seandainya sekolah menyadari hal ini…

Waktu kuliah, dosen memang ga sedekat guru ya.. tapi, tetap aja ada yang aku suka berat. Salah satunya bu Wening namanya. Beliau bilang: “jangan ragu-ragu menjadikan murid-murid sebagai eksperimen” dalam pengertian yang baik. Artinya, mengajarlah dengan kreatif! Inovatif! Aku suka itu….

Sekarang, aku sendiri jadi guru… Just for your information: kakekku guru, ibuku guru. Mungkin udah hukum “karma” aku jadi guru… hihihihihi….

Aku ga tau aku guru yang gimana… tapi, sebisa mungkin hal-hal menyenangkan dan bermanfaat yang kudapat dari guru-guruku itu mau kuteruskan sama murid-muridku.. Mungkin dengan itu aku bisa ngucapkan TERIMA KASIH buat guru-guruku… hal yang ga bisa kulakukan langsung di hadapan mereka sekarang…

Semoga mereka semua selalu diberikati Tuhan. Amin.

Pekanbaru, 25 November 2009
11:03